Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jujur Ada Batasnya?

Mubarak - ayahanda ulama besar Abdullah Ibnu al-Mubarak - membuktikan bagaimana kejujuran telah membawanya pada kebaikan. Mubarak adalah seorang budak yang bekerja di sebuah kebun. Suatu hari, majikannya meminta Mubarak memetikkan satu buah delima yang manis. Mubarak lalu bergegas menuju salah satu pohon milik majikannya dan mengambil sebuah delima.

Setelah diberikan, sang majikan tadi langsung mencicipi rasanya. Ternyata rasanya asm. Ia lalu memarahi Mubarak. "Aku minta yang manis malah kau beri yang masih asam! Cepat ambilkan yang manis!"

Mubarak lalu beranjak dan memetik delima dari pohon yang lain. Setelah diperoleh oleh sang majikan, rasanya masih asam dan Mubarak dimarahi lagi. Ia melakukan hal yang sama untuk ketiga kalinya dan ternyata delima yang dipetiknya juga tidak manis. Majikannya lalu bertanya, "Kamu ini apa tidak tahu mana yang manis mana yang asam?"

Mubarak mengaku tidak mengetahui bedanya. "Bagaimana bisa seperti itu?" ujar majikannya. Ia menjawab, "Sebab aku tidak pernah makan buah dari kebun ini sampai aku benar-benar mengetahui (kehalalan) nya."

"Kenapa engkau tidak mau memakannya?" tanya majikannya lagi. "Karena Anda belum mengizinkan aku untuk makan dari kebun ini." Pemilik kebun itu terheran-heran sekaligus kagum dengan jawaban Mubarak.

Kebetulan si majikan memiliki seorang anak perempuan yang banyak dilamar oleh orang. Dia mengatakan, "Wahai Mubarak, menurutmu siapa yang pantas memperistri purtiku ini?"

"Dulu orang-orang jahiliyah menikahkan putri-putri mereka lantaran keturunan. Orang Yahudi menikahkan karena harta, sementara orang Nasrani menikahkan karena keelokan paras dan umat ini menikahkan karena agama," jawab Mubarak.

Sang majikan kembali dibuat takjub oleh jawaban Mubarak. Akhirnya, majikan tadi pergi dan memberitahu istrinya untuk menikahkan putri mereka dengan Mubarak. "Menurutku, tidak ada yang lebih pantas untuk putri kita ini selain Mubarak."

Mubarak pun menikahinya dan majikan yang kini menjadi mertuanya memberi harta melimpah. Setelah beberapa saat, istri Mubarak melahirkan Abdullah bin al-Mubarak yang kemudian dikenal sebagai seorang alim, pakar hadits, dan seorang mujahid (orang yang berjihad). Subhanallah.

Kisah Mubarak ini seakan menjadi bukti nyata dari sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: "Wajib atas kalian untuk jujur, sebab jujur itu akan membawa kebaikan, dan kebaikan akan menunjukkan jalan ke surga, begitu pula seorang senantiasa jujur dan memperhatikan kejujuran sehingga akan termaktub di sisi Allah atas kejujurannya. Sebaliknya, janganlah berdusta, sebab dusta akan mengarah pada kejahatan, dan kejahatan akan membawa ke neraka, seorang yang senantiasa berdusta, dan memperhatikan kedustaannya, sehingga tercatat di sisi Allah sebagai pendusta." (HR. Bukhari-Muslim dari Ibnu Mas'ud)

Hamzah Yakub, penulis buku "Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mu'min", menyebut jujur sebagai shiddiq yang merupakan salah satu sifat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang paling terkenal. Dalam bukunya, Hamzah mengartikan shiddiq sebagai kecenderungan pada kebenaran, berpikir benar, bertindak benar, dan berkata benar.

Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa makna jujur tidak sebatas pada perkataan saja. Jujur harus tercermin dalam niat, tindakan, dan tentunya ucapan.

Menurut guru besar psikologi Islam Universitas Indonesia. Prof. Dr. Achmad Mubarok MA, jujur yang berkonotasi positif berbeda dengan jujur dalam arti lugu atau polos yang di dalamnya terkandung konotasi negatif.

Kejujuran yang termasuk dalam konotasi positif, di antaranya adalah jika disampaikan dengan tanggung jawab. Jujur, lanjut Prof. Mubarok, tidak musti selalu mengatakan semua yang diketahui secara apa adanya. Sifat jujur ini harus diamalkan secara cerdas, dalam arti mengatakan apa yang diketahui sepanjang membawa kebaikan dan tidak akan menyebutkannya jika bisa berakibat buruk pada dirinya atau orang lain.

Gambar: http://www.hipwee.com

BOHONG POSITIF

Kebalikan dari jujur adalah dusta atau bohong. Secara umum, bohong diartikan sebagai berita atau menyampaikan sesuatu yang tidak sesuai fakta. Dan dalam Islam, ujar dosen agama dan character building, Nanang Lidwan, berbohong termasuk perilaku yang diharamkan alias dilarang.
Namun, seperti dikatakan Prof. Mubarok tadi, Nanang juga mengakui bahwa ada bohong yang dibolehkan. "Dengan catatan tujuannya (berbohong) baik dan tidak ada cara lain kecuali lewat berbohong," tutur Nanang.

Misalnya, ia mencontohkan, kebohongan untuk mendamaikan peperangan, meredakan pertikaian, atau menyenangkan istri. Untuk tujuan yang terakhir, Nanang mengandaikan seorang istri yang sudah susah payah membuat sayur dan ternyata keasinan. Ketika istri menanyakan rasa masakannya, sang suami lebih pantas menjawab dengan mengatakan sayur buatan istrinya lezat ketimbang berterus terang bilang kalau rasanya terlalu asin. "Kebohongan yang seperti ini dibolehkan," imbuh dosen yang juga mengajar di Perguruan Bina Sarana Informatika di Jakarta ini.

Bahkan, ia melanjutkan, ada juga bohong yang diwajibkan. Misalnya, ketika kita menemukan orang baik-baik sedang dikejar oleh orang dzalim atau penjahat. Karena kita tahu penjahat itu mau membunuhnya, kita boleh berbohong demi menyelamatkan nyawa orang tersebut.

JUJUR ADA BATASNYA?

Kalau memang begitu, apakah berarti kejujuran ada batasnya? Nanag tidak mau menyebutnya seperti itu. Pada prinsipnya, ia menerangkan, jujur adalah perintah Allah. Dan dalam keadaan darurat yang tentunya tidak bertentangan dengan ketentuan Allah, mengesampingkan kejujuran tidak berari mengurangi kadar kejujuran seseorang.

"Tetap orang itu jujur, tetapi dalam keadaan darurat dia terpaksa berbohong. Kalau saya melihatnya berbohong itu memang dilarang, tapi dalam keadaan darurat boleh dilakukan bahkan wajib," paparnya.

Namun, Nanang mengingatkan, ukuran kebenaran dari berbohong itu tidak bisa didasarkan pada keyakinan atau perasaan kita semata. Tetapi harus dilihat apakah sesuai dengan ketentuan Al-Qur'an dan Hadits atau tidak. Seperti disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 147: "Yang haq (kebenaran) berasal dari Tuhanmu belaka maka sekali-kali janganlah kamu ragu."

BAHAYA DUSTA

Ada banyak ayat Al-Qur'an yang memyebutkan ancaman celaka bagi orang-orang yang senang berbohong. "Celakalah bagi mereka yang curang. Ialah yang bila menerima takaran orang lain menuntut dipenuhinya. Tapi bila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka selalu menguranginya." (QS. Al-Muthaffifin: 1-3)

Dusta juga bisa mengantarkan kita pada neraka, seperti diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim. "Wajib atas kalian untuk jujur, sebab jujur itu akan membawa kebaikan, dan kebaikan akan menunjukkan jalan ke surga, begitu pula seseorang senantiasa jujur dan memperhatikan kejujuran sehingga akan termaktub di sisi Allah atas kejujurannya. Sebaliknya, janganlah berdusta, sebab dusta akan mengarah pada kejahatan, dan kejahatan akan membawa ke neraka, seseorang yang senantiasa berdusta, dan memperhatikan kedustaannya sehingga tercatat di sisi Allah sebagai pendusta."

Kemudian seperti ajaran Al-Hassan bin Ali bin Abi Thalib yang diterimanya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, berbohong itu mengandung keragu-raguan dan kebimbangan. Ajaran ini kemudian diriwayatkan oleh Tirmidzi: "Tinggalkan apa yang kau ragu-ragukan dan kerjakan apa yang tidak kau ragu-ragukan. Sesungguhnya kebenaran membawa ketenangan dan dusta itu menimbulkan keragu-raguan."

MEMPERTAHANKAN KEJUJURAN

Sifat jujur, salah satunya terbentuk secara genetika. Karena itu, setiap orangtua harus menyadari bahwa sikap jujurnya dapat menulari si anak dan membentuk kepribadiannya, bahkan ketika ia masih dalam kandungan.

Untuk anak-anak usia sepuluh tahun atau setara kelas empat SD hingga usia SMP, pembiasaan kejujuran sebaiknya dilakukan berbarengan dengan pendisiplinan hidup, seperti disiplin belajar, membantu orangtua di rumah, dan disiplin keuangan. Dan menginjak usia SMA atau sekitar 16 tahun, kejujuran dan kedisiplinan yang ditanamkan, baik dalam kehidupan di dalam rumah, sekolah, maupun lingkungan sekitarnya harus disertai alasan yang rasional.

Kemudian ketika anak menginjak usia 18-19 tahun, ujar Prof. Mubarok, sifat dan perilaku jujur dapat dibangun dengan mempercayai anak dalam berbagai tanggung jawab. "Tekankan kepada mereka komitmen dan substansi dari kejujuran itu. Sementara untuk teknik atau bagaimana mereka membangun komitmen untuk selalu bersikap jujur, serahkan pada mereka senidiri," paparnya.

Sementara pada orang dewasa yang sudah kerja, kejujuran bisa dibangun melalui pembentukan sistem kerja di mana peluang untuk berbuat tidak jujur dipersempit dengan sistem pengawasan yang transparan. "Betapapun orang jujur dapat berubah menjadi tidak jujur manakala peluang untuk tidak jujur dan tidak disiplin terbuka tanpa pengawasan," tukas Prof. Mubarok. Semoga mulai sekarang kita siap menjadi pribadi yang jujur. Amin ya rabbal 'alamin.




Dikutip dari Majalah Aulia, oleh: Meutia Rahmi

1 komentar untuk "Jujur Ada Batasnya?"

  1. Keren dapet bgt ilmunya 😊
    Memang aku suka Bingung dengan jujur beda tipis dengan bodoh. Tapi ternyata di jelaskan bahwa jujur ini harus di amalkan secara cerdas. Okey saya Alan pelajari itu 😊

    BalasHapus