Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jangan Lama-Lama Di Pasar Ah!

Anda sering meninggalkan pusat-pusat perbelanjaan dalam keadaan marah atau kecewa karena merasa tertipu oleh pedagang? Barang yang Anda bayar dengan mahal ternyata berkualitas buruk? Wah, mungkin Anda lupa meminta perlindungan kepada Allah Ta'ala saat memasuki pasar!

Yang jelas sayang sekali kita tidak memiliki pemimpin seperti Amirul Mu'minin 'Umar bin al-Khaththab radhiyallahu'anhu yang lima belas abad lalu menetapkan bahwa sebuah pasar haruslah memiliki muhtasib (pengawas) yang mewajibkan para pedagang untuk mengetahui riba dan fiqih dagang serta mencegah terjadinya muamalah yang melanggar syariah, seperti berdusta dan sumpah palsu dalam menawarkan dagangan, mengurangi timbangan, menjual barang-barang haram, penipuan, penimbunan barang, manipulasi harga, dan lain-lain. Kalau ada pedagang yang melanggar, akan diusir dari pasar.

Khalifah 'Umar dahulu mengusir pedagang yang tidak memahami riba dan fiqih dagang dari pasar. Beliau juga berkeliling sendiri ke pasar-pasar untuk mengawasi transaksi di dalamnya, membawa tongkatnya untuk meluruskan penyimpangan dan menghukum orang yang menyimpang dengan kedua tangannya sendiri. Ke mana ya, akan kita cari pemimpin seperti 'Umar bin al-Khaththab?

Gambar: http://www.rpdkutim.com

Pasar mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian umat sepanjang masa. Sebab, kekuatan ekonomi juga ikut ditentukan oleh kondisi pasar. Kekuatan ekonomi mempunyai kesamaan makna dengan kekuatan politik sehingga urgensi pasar dapat mempengaruhi semua tingkat individu, sosial, regional, nasional, bahkan internasional.

Tak heran, keberadaan pasar harus dijaga dan dipelihara agar kelangsungan hidup masyarakat bisa terpenuhi. Ujung tombak sebuah pasar adalah penjual dan pembeli. Oleh karena itu, pertemuan dan transaksi antara penjual dan pembeli menjadi bagian yang paling penting.

Dahulu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun menentukan tempat yang berfungsi sebagai pasar di kota Madinah. Ini merupakan bagian dari infrastruktur masnyarakat yang disediakan oleh pemerintah pusat saat itu. Pembangunan pasar diambil dari dana baitul maal wat tamwil. Hal tersebut juga menjadi bukti salah satu kebijakan Rasulullah dan keempat khalifah pada permulaan Islam untuk pengembangan ekonomi serta peningkatan partisipasi kerja dan produksi.

Karena itu, keberadaan dan pentingnya pasar juga sangat mendapat perhatian Islam. Ustadz Abdurrahman Al-Baghdadi mengatakan, pasar diadakan di tempat terbuka, memilih tempat yang strategis untuk berjual beli, dan tidak ada pungutan retribusi. Fasilitas dan infrastruktur pasar sepenuhnya disediakan oleh negara. Termasuk juga pasar-pasar 'kaget' atau pasar yang buka pada hanya hari-hari tertentu, menjadi kewajiban negara untuk menyediakan tempat yang strategis.

Para pedagang menempati lahan tetap yang sudah disediakan pemerintah. Mereka sebaiknya tidak berpindah-pindah tempat. Siapa duluan maka dia berhak berdagang di tempat tersebut sampai berakhirnya aktivitas. "Jika pedagang itu sudah berdagang si satu tempat maka dia tidak boleh menempati tempat pedagang lain," ujarnya.

Pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallm, pasar yang diadakan terbuka. Adapun perkembangan waktu yang menjadikan pasar berubah menjadi kios, toko, ruko, atau mal. Hal tersebut tidak menjadikan larangan bagi sebuah pasar dan terjadinya transaksi. Islam tidak membatasi pembangunan pasar seperti itu. Hanya saja, penyediaan lahan tetap dilakukan pemerintah dan catatan yang sangat penting adalah tidak dipungut pajak atau retribusi. Pemerintah harus ikut menjaga dan merawat pasar karena pasar merupakan salah satu fasilitas umum.

Lalu bagaimana dengan munculnya supermarket, mal, hypermarketm dan sejenisnya? Pasar tersebut diperbolehkan karena mencantumkan harga (barcode) dengan jelas. Namun, harga yang dicantumkan harus seimbang dengan pasar tradisional. "Jangan melebihi menjadi lebih mahal dari harga standar."

Tidak boleh juga lebih murah dari pedagang yang lain, sebab itu akan menjatuhkan harga dan menjadikan pedagang lain, terutama pedagang di pasar tradisional menjadi bangkrut. Karena itu menurutnya, negara harus mengatur keberadaan pasar tradisional dengan pasar modern.

"Jangan mendirikan pasar modern di tengah-tengah pasar tradisional, itu tidak dibenarkan. Seharusnya ada pembagian tempat, misalnya pasar modern di perbatasan kota sedangkan pasar tradisional di tengah-tengah kota," tuturnya.

Jika diatur sedemikian rupa, kedua belah pihak tidak akan ada yang dirugikan karena masing-masing sudah mempunyai tempat. Jika memaksakan penempatan keduanya dalam satu lahan, salah satu pasti akan collapse. Dan sudah bisa dipastikan yang collapse adalah pasar tradisional.

JANGAN LAMA-LAMA DI PASAR

Keanekaragaman barang yang dijual di pasar membuat daya tarik sendiri. Terkadang membuat pengunjung atau pembeli berlama-lama di pasar. Menurur Ustadz Abdurrahman, pengunjung atau pembeli sebaiknya tidak membuang waktu lama di pasar. Jika semua kebutuhan dan yang diperlukan sudah dipenuhi harus segera pulang. Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan, "Sebaik-baiknya tempat (di permukaan bumi) adalah masjid dan seburuk-buruknya tempat adalah pasar" (HR. Muslim)

Kenapa tidak boleh berlama-lama? Sebab pasar adalah salah satu tempat setan dan sekutu-kutunya. Di tempat ini setan sangat senang menggoda pengunjung dan pedagang untuk berbuat curang, bersikap boros, dan tindakan tidak terpuji lainnya. Setan mengajak manusia untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

Karena itu, lanjut Ustadz Abdurrahman di dalam pasar sebaiknya tidak disediakan fasilitas yang membuat pengunjung betah. Misalnya, restoran dan tempat hiburan lainnya. Tidak seperti kebanyakan pasar sekarang dimana aktivitas jual beli bercampur baur dengan arena hiburan. Terbukti, tempat-tempat tersebut menjadi sarana melakukan tindakan tidak terpuji, seperti berpacaran dan lain-lain.

JANGAN ISENG-ISENG MENAWAR

Perdagangan adalah kegiatan yang disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah berfirman dalam surat An-Nisaa ayat 29: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku suka sama suka di antara kalian."

Adiwarman Karim dalam bukunya Islamic Microeconomic mengatakan, penentuan harga dilakukan oleh kekuatan-kekuatan pasar, yaitu kekuatan permintaan dan penawaran. Dalam konsep Islam, pertemuan permintaan dan penawaran terjadi secara rela sama rela, tidak ada pihak yang merasa terpaksa untuk melakukan transaksi pada tingkat harga tersebut.

Nah, dalam transaksi jual beli pasti ada tawar menawar. Biasanya wanita dan para ibu - yang dikenal jago belanja dan menawar - sering membandingkan barang ataupun harga antara satu pedagang dengan yang lain. Maksudnya, tentu saja sebagai pembeli ingin mendapatkan harga murah dengan kualitas baik.

Hal tersebut menurut Ustadz Abdurrahman boleh dilakukan selama belum ada kesepakatan antara penjual dan pembeli. Jika keduanya sudah deal maka si pembeli tidak boleh lagi berpaling kepada pedagang lain dan tidak boleh main-main dalam tawar-menawar. Itu adalah salah satu adab pembeli.

Dari Amru bin Syu'aib dari ayahnya, dari kakeknya radhiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Penjual dan pembeli mempunyai hak memilih hingga keduanya berpisah, kecuali telah ditetapkan khiyar. Dan tidak halal berpisah karena khawatir transaksinya dibatalkan." (Diriwayatkan oleh Imam lima kecuali Ibnu Majah). Diriwayatkan oleh ad-Dharuqutni, Ibnu Majah, dan Ibnu Jarud. Dalam suatu riwayat "Hingga keduanya berpisah dari tempatnya."

TIDAK BERADAB

Akan tetapi banyak juga ditemukan pembeli yang menawar hanya untuk iseng. Hal tersebut tidak boleh dilakukan karena perbuatan itu kurang beradab. Seharusnya, sebelum menawar barang ia harus benar-benar yakin menginginkan barang tersebut. Atau masihkah ada uang di dompet, itu juga harus diperhatikan. Sebab, tindakan seperti itu akan menyakiti dan mengecewakan satu pihak, dalam hal ini pedagang.

Berbeda jika si pembeli hanya bertanya harga kemudian berlalu untuk membandingkan dengan yang lain atau barangnya tidak cocok, itu diperbolehkan. Hal tersebut diperbolehkan karena belum ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Islam juga mengatur pembelian dengan tempo pengembalian. Misalnya, seorang remaja membeli busana, setelah tawar-menawar akhirnya si remaja tersebut membeli busana yang ia pilih, membayarnya dan segera pulang. Sesampainya di rumah, ternyata ada cacat yang tidak diketahui ketika ia di toko tadi. Maka, ia pun mengembalikan busana tadi dengan alasan adanya cacat yang tidak terlihat. Dalam hal ini, menurut Ustadz Abdurrahman, Islam memberikan batas waktu tiga hari dari waktu pembelian.

Hanya saja, masalah cacat atau cela dalam barang yang kita beli juga harus diperhatikan dengan seksama. Sebab, belum tentu cacat itu berasal dari toko tapi bisa jadi kelalaiankita ketika membawa pulang. Di sinilah diperlukan kejujuran dari dalam hati penjual dan pembeli. Karena itu, teliti sebelum membeli sangat penting dalam sebuah transaksi. Sebab cacat atau cela pada barang sering mengundang perselisihan antara penjual dan pembeli karena masing-masing merasa benar.

Suatu kali Amirul Mu'minin Umar bin Khaththab radhiyallahu'anhu membeli seekor kuda dari seorang pedagang. Ketika transaksi sampai akhirnya terjadi kesepakatan, sayyidina Umar tidak melihat hal yang aneh pada kuda tersebut. Akan tetapi sesampainya di rumah, kuda itu terlihat pincang.

Akhirnya, beliau kembali lagi ke pedagang tersebut dan mengatakan bahwa kuda yang ia jual pincang. Namun, pedagang menampik dan menyatakan sebelum dibeli Umar, kuda itu sehat. Sampai terjadi perselisihan dan kasus ini dibawa ke pengadilan. Kedudukan Amirul Mu'minin di hadapan hukum disamakan dengan rakyat biasa. Hakim menyerukan kepada Umar: "Wahai Umar, beli kuda ini atau kembalikan kuda ini kepada pedagang seperti semula."

JANGAN MENCELA

Suatu hari seorang ibu belanja buah salak di pasar. Ketika dia memilih buah tersebut si ibu berkomentar "Bang, salaknya kok kecil-kecil banget sih, kayak kotoran hidung," kata si ibu tersebut. Menanggapi ungkapan tersebut, si penjual membalasnya dengan bercanda, "Wah, berarti kotoran hidung ibu sebesar salak dong," ucapnya terkekeh, meski terlihat sedikit kesal.

Jangan pernah sekali-sekali pembeli mencela barang dagangan apalagi mencela pedagangnya atau mencela kualitas dagangan yang rendah. Ustadz Abdurrahman mengatakan, hal tersebut akan sangat menyinggung perasaan si penjual. "Itu akan memicu kemarahan pedagang. Sifat orang berbeda-beda, dia bisa langsung marah dengan ungkapan seperti itu." Maka gunakanlah bahasa yang baik dan sopan agar tidak ada pihak yang tersakiti.

Jika pembeli tidak boleh mencela maka pedagang tidak boleh memuji barang dagangannya secara berlebihan supaya laku. Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (2142) dalam al-Buyuu', Muslim (1516) dalam al-Buyuu' dari Umar radhiyallahu'anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang Najsy (memuji barang berlebihan supaya laku). (Muttafaqun 'alaihi)

Penjual dan pembeli sebetulnya harus tahu dan mengerti etika di antara mereka. Juga mengerti fiqh jual beli agar tidak terjadi jual beli barang haram. Keduanya harus pula menunjukkan akhlak yang baik. Menurut Ustadz Abdurrahman, kesadaran hukum penjual dan pembeli juga harus ditingkatkan. Hal ini untuk menghindari perselisihan yang kerap terjadi antara penjual dan pembeli. Pada dasarnya, transaksi jual beli adalah mencari kepuasan kedua belah pihak.

Afzalu Rahman dalam bukunya, Muhammad As A Trader menyebutkan, Nabi sangat sopan dan baik hati dalam melakukan transaksi perdagangan. Selain itu ia juga selalu menasehati para sahabatnya untuk bersikap yang sama kapan saja dan dengan siapa saja mereka melakukan transaksi.

Jabir meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa sallam berkata, "Rahmat Allah atas orang yang berbaik hati ketika ia menjual dan membeli dan ketika ia membuat keputusan." (HR. Bukhari)

Selanjutnya Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa sallam berkata: "Hindarilah banyak bersumpah ketika melakukan transaksi dagang, sebab itu dapat menghasilkan suatu penjualan yang cepat lalu menghapuskan berkah." (Bukhari dan Muslim)

SALING MEMPERMUDAH

Bagian dari etika jual beli adalah mempermudah jual beli itu sendiri. Artinya, pedagang tidak mempersulit pembeli untuk membeli dan ketika menawarinya. Sebaliknya, pembeli juga tidak menyulitkan penjual dengan permintaan yang bertele-tele. Jika si penjual sampai mengeluarkan barang-barang yang dicari si pembeli, sebaiknya si pembeli menghargai usaha penjual tersebut dengan membelinya.

Selain itu, pembeli juga harus mempermudah pembayaran. Misalnya, dengan uang pas sesuai dengan harga yang sudah disepakati. Pembeli juga tidak boleh menggunakan uang palsu karena itu jelas merugikan pedagang.

Termasuk dalam jual beli kredit, pembeli harus menepati janji untuk membayar jika sudah tiba waktunya membayar. Namun, jika ada kesulitan pembayaran karena ada sesuatu hal, misalnya terkena musibah maka hendaknya si penjual memberikan keringanan. Atau yang lebih mulia membebaskan pembeli dari segala tuntutan pembayaran.

"Allah memberkahi penjualan yang mudah, pembelian yang mudah, pembayaran yang mudah, dan penagihan yang mudah." (HR. Ath-Thahawi)

Begitu juga sebaliknya, pedagang tidak berbuat curang, tidak mengurangi timbangan, tidak licik, dan tidak mengambil keuntungan yang berlebihan. Ia juga harus mengedepankan akhlak dan dapat dipercaya.

Dari Abu Sa'id meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata; "Saudagar yang jujur dan dapat dipercaya akan dimasukkan dalam golongan para Nabi, orang-orang jujur dan para syuhada." (HR. Tirmidzi)

Nabi juga berkata, "Para saudagar pada hari kebangkitan akan dibangkitkan sebagai pelaku kejahatan, kecuali mereka yang bertakwa pada Allah, jujur dan selalu berkata benar." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Darimi, dan Baihaqi). Wallahu a'lam bishshawab.




Dikutip dari Majalah Aulia, oleh: Wina Tresna Rahayu

Posting Komentar untuk "Jangan Lama-Lama Di Pasar Ah!"