Perjanjian Berat Dengan Allah
Menikah adalah ibadah. Pernikahan oleh Al-Qur'an disebut sebagai mitsaqan ghalizha (perjanjian yang kokoh). Sebuah ungkapan yang menggambarkan bahwa pernikahan adalah perkara yang besar, serius, perlu kesungguhan, jauh dari main-main dan sikap menggampangkan.
Allah berfirman, "Dan bagaimana kamu sekalian bisa mengambilnya kembali (harta yang telah kamu berikan kepada istri) padahal kamu telah saling cenderung satu sama lain, dan kamu sekalian telah mengambil dari mereka (para istri) perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalizha)." (Surah An-Nisa: 21)
Kata mitsaqan ghalizha sendiri terdapat dalam Al Qur'an pada 3 ayat. Dua ayat yang lain masing-masing juga membicarakan hal yang sangat berat dan serius, yaitu tentang perjanjian Allah atas Bani Israil dan perjanjian Allah atas para nabi yang diutusNya.
![]() |
Gambar oleh www.tulisanterkini.com |
Ayat-ayat tersebut adalah, "Dan Kami angkat ke atas kepala mereka bukit Thur untuk mengambil perjanjian dari mereka, dan Kami katakan kepada mereka: Masuklah melalui pintunya dalam keadaan bersujud. Dan Kami katakan pula kepada mereka: Janganlah kalian melampaui batas pada hari Sabtu. Dan sungguh, Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalizha)." (Surah An-Nisa: 153)
"Dan ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian dari para nabi, juga dari kamu (wahai Muhammad), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh."
Perjanjian antara Allah dengan para Nabi atau antara Allah dengan Bani Israil yang digambarkan Al Qur'an jelas bukan perkara main-main. Perkara antara Tuhan dengan hamba-hambaNya, bahkan dengan para rasulNya pastilah itu merupakan perkara serius. Sedangkan pada hal pernikahan Al Qur'an menggunakan istilah yang sama dengan hal-hal besar tadi. Berarti pernikahan dalam pandangan Al-Qur'an juga merupakan hal besar, berat, sekaligus agung dan mulia, sehingga harus disikapi dengan serius dan sungguh-sungguh.
Berpijak dari hal tersebut wajarlah apabila Islam meletakkan aturan main yang terinci dalam hal pernikahan sebagaimana Islam juga telah menempatkannya pada posisi yang agung dan mulia. Pasangan yang menikah sesuai dengan tuntunan Islam, lalu mereka juga ikhlas dalam menjalaninya, maka pernikahan mereka bernilai ibadah.
ILMU MENIKAH
Karena pernikahan adalah suatu hal yang sangat berat dan agunglah maka orang yang hendak menikah membutuhkan kesiapan-kesiapan sebagai berikut, yaitu pengetahuan yang memadai tentang pernikahan dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sebagaimana ibadah-ibadah lain pun dalam Islam yang harus dilakukan berdasarkan tuntunannya yang benar, begitu pula halnya dengan pernikahan.
Pengetahuan yang harus dimiliki meliputi pengetahuan tentang proses menuju pernikahan dalam Islam (bagaimana memilih calon pasangan hidup), proses akad nikah dan penyelenggaraan pesta pernikahan (walimatul 'ursy), aturan dalam kehidupan berumah tangga (hak dan kewajiban kedua belah pihak, dan juga hak-hak anak), tata cara menyelesaikan konflik-konflik rumah tangga, hak dan kewajiban apa saja yang dimiliki kedua belah pihak dalam menyelesaikan konflik berumah tangga, termasuk jika harus terjadi perpisahan dalam ikatan rumah tangga, meski pun tidak dikehendaki pasangan mana pun ketika mereka menuju jenjang pernikahan.
Namun pengetahuan tentang ini sangat perlu karena tidak adanya pengetahuan tentang hal ini atau pengetahuan yang keliru tentang hal ini terbukti menyebabkan terjadinya kezaliman yang berkepanjangan dalam rumah tangga terutama dialami para perempuan karena posisi mereka yang lemah.
PINTU TANGGUNG JAWAB
Dengan demikian, pernikahan adalah sebuah pintu untuk memasuki arena tanggung jawab besar - yang kalau diabaikan dan dikhianati, seorang akan harus berhadapan dengan Allah Ta'ala di Padang Masyar nanti. Dengan demikian pula, pernikahan kedua, ketiga dan keempat adalah pintu untuk memasuki arena tanggung jawab yang bahkan jauh lebih besar lagi, yang kalau diabaikan akan membawa seorang lelaki ke neraka.
Kata Allah Ta'ala dalam surah At-Tahrim ayat 6, "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."
Apakah seorang suami yakin bahwa seorang saja istrinya adalah istri yang akan membawanya ke syurga dan menghindarkannya dari api neraka? Sudahkah istrinya yang seorang itu adalah seorang perempuan yang aqidahnya lurus dan sempurna, yang ibadahnya benar, yang amalnya shalihah, yang kehormatannya terpelihara? Sudahkah semua anaknya dari istrinya yang satu itu menjadi anak-anak yang shalih dan shalihah atau paling tidak diberi pendidikan yang benar menurut tuntunan Allah Ta'ala dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam? Sudah benarkah cara shalat si Buyung? Sudahkah si Upik menutup aurat dengan sempurna dan berhijab dari pergaulan haram? Sudahkah istri yang seorang tadi membaca Al-Qur'an?
Bagaimana kalau di Padang Mahsyar nanti si istri yang seorang itu nanti menudingkan telunjuknya kepada si suami dan berkata, "Dia mungkin memberiku uang yang sama banyak dengan yang diberikannya kepada istri-istrinya yang lain, tapi dia tak pernah membimbingku membaca Al-Qur'an dengan sempurna, mengimamiku shalat tahajjud, menemani aku membesarkan anak-anak dengan baik...."
Bagaimana kalau anak-anak dari istri yang pertama lalu mengadukan kepada Allah Ta'ala bahwa ayah mereka telah bersikap zalim dengan tidak memberikan perhatian dan pendidikan yang sama baiknya dengan anak-anak dari pernikahan yang kedua, ketiga, dan keempat? Bagaimana kalau mereka berkata, "anaka-anak dari pernikahan keempat mendapat ciuman dan pelukan lebih banyak daripada kami!"
Itu baru dari pernikahan yang pertama. Bukankah mungkin saja istri yang kedua, ketiga dan keempat bersama "segerobak" anak mereka juga lalu maju ke depan Pengadilan Allah membawa tuntutan yang tak kalah beratnya terhadap suami dan ayah mereka? Bagaimana kalau ada salah seorang di antara istri atau anak-anak itu yang malahan lalu berkata, "Ya Allah, mengapa dia merasa layak menjadi imam kami padahal shalatnya masih tak beres, bacaan Qur'annya berantakan, puasanya diisi dengan kegiatan tak berguna, siangnya dipakai terus-menerus mengejar dunia sampai melupakan ibadah dan malam-malamnya diisi dengan tidur pulas tanpa sempat membimbing kami ber-tahajjud?"
KALAU MASIH JUGA MAU MENIKAH LAGI
Katakanlah bahwa seorang lelaki - sesudah bermuhasabah - merasa mantap bahwa dirinya layak memikul beban tanggung jawab kepemimpinan di lebih dari satu rumah tangga, dan karenanya memutuskan untuk tetap menikah lagi. Untuknya berlakulah semua tuntunan Islam untuk lebih dulu berusaha menjadi "manusia sempurna."
Manusia sempurna menurut Islam adalah sosok yang menuju kesempurnaan, dengan cara: selalu bertaubat; selalu mensucikan diri; selalu menambah ilmu; dan selalu semakin taat kepada Allah (lewat perkataan dan tindakan) selama hidupnya.
Islam memberi model manusia sempurna yang realistis. Dia hidup bersama manusia, makan, minum, menikah, berperang, berdarah, sakit, berdagang, kesal, tersenyum, mengangis dan lain-lain. Itulah baginda Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam (semoga Allah melimpahinya dengan shalawat dan keselamatan). Beliau prototipe Insan Kamil. Dari beliaulah kita petik tips berikut untuk mempersiapkan diri secara sempurna menghadapi peristiwa besar - ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan mengambil mitsaqan ghalizha (perjanjian yang kokoh) berupa pernikahan.
1. Muhasabah (Evaluasi Diri)
'Umar ibn Khatthab (semoga Allah ridha kepadanya), suatu kali mengatakan, "Hisab atau hakimi lah dirimu sebelum Allah menghakimimu di Hari Akhirat." Sudahkah seorang lelaki Muslim melakukan yang terbaik hari ini dan kemarin-kemarim? Sudahkah benarkah ikhtiar dan upayanya memastikan agar jalan dan langkahnya menuju pernikahan kedua (atau ketiga atau keempat) menjadi kesempatan terbaik meraih ridhaNya. Adakah orang yang dia sakiti perasaannya hari ini, pada saat dia sibuk dan tergesa-gesa melakukan persiapan ini itu? Adakah pelanggaran hukum Allah yang dia lakukan saat mempersiapkan diri menikah? Sudahkah dia mengganti kesalahannya dengan perbuatan yang lebih baik? Jawaban atas pertanyaan semacam di atas akan menunjukkan bukan saja kesiapannya untuk memasuki pernikahan dengan cara yang bersih dan mulia, demi meraih ridhaNya, tapi juga ikhtiar lelaki itu memastikan bahwa kehidupan berumahtangganya dimulai dengan baik dan benar sehingga selalu dalam berkah dan rahmahNya.
2. Ingat Mati
Allah Ta'ala yang menggenggam hidup dan mati kita tidak pernah memberitahukan kapan Dia akan mengambil kembali titipannya. Bisa saja nanti malam. Bisa saja menjelang ijab qabul. Bisa saja di malam pertama menjadi suami dari istri yang kedua, ketiga atau keempat itu. Rasulullah memerintahkan kita untuk mewaspadai kematian, karena itu akan melembutkan hati kita, dan menajamkan akal kita. Beliau menganjurkan kita untuk menghadiri pemakaman dan berziarah kubur secara rutin, tidak untuk bersedih hati pada si mati, tidak juga menyembah kuburan, tapi untuk merenungi peristiwa yang akan kita alami sebentar lagi. "Yang paling pandai di antara kalian adalah yang selalu mengingat kematian," kata beliau. Kenapa? Karena seorang mu'min yang selalu mengingat mati akan lebih arif dalam memilih tutur kata, kegiatan, dan keputusan-keputusan yang diambilnya - termasuk dalam hal ta'addud az zawjaat. Dia akan selalu memilih mana-mana yang akan berpengaruh langsung pada kualitas kehidupannya di dunia berikutnya sesudah dia mati kelak. Mungkin si lelaki berpikir, "Lho, aku berniat menikah lagi, bukan berniat pergi perang. Masa' harus mengingat mati? Apa tidak boleh tertawa dan bersenang-senang?" Tentu boleh. Namun mengingat kematian memberi si lelaki the right frame of mind dan suasana batin bahwa pernikahan adalah ibadah yang seharusnya membawanya kepada ridha Allah, dan bukan sekadar untuk mencari kesenangan dunia!
3. Berdoa Terus
Ruh atau nyawa kita adalah organ yang diciptakan secara sempurna tak kasat mata. Hanya Allah yang mengetahui detail anatomi ruh kita. "Setiap yang bernyawa pasti akan mati," Allah, pemilik tunggal ruh, berfirman dalam Al-Qur'an. Itulah makanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita doa yang sangat indah untuk memelihara keselamatan ruh, "Ya Allah, lembutkanlah cara ruh meninggalkan kami, ampunilah kami sesudah ruh meninggalkan kami, selamatkanlah kami sesudah kepergiannya, dan lindungilah kami dari Neraka, dan maafkanlah kami di Hari Pengadilan nanti." Kerendahan hati dan ibadah akan memelihara kemurnian ruh kita. Kalau si lelaki menginginkan pernikahannya adalah jalan mendekatkan dirinya kepada Allah Ta'ala dan syurga, maka dia perlu berdoa terus menerus.
4. Baca Al-Qur'an Sesering Mungkin
Al-Qur'an bukan buku biasa. Kitab ini berbicara dengan kita, menyampaikan pesan-pesan Allah yang langsung menuju ruh kita. Sebaliknya, ruh-ruh akan berbicara juga langsung kepada Allah. Semakin sering proses ini dilakukan semakin menyehatkan dan menguatkan ruh kita.
5. Berpuasalah
Di samping kewajiban berpuasa selama bulan suci Ramadhan, Rasulullah juga menganjurkan untuk berpuasa sunnah - puasa Senin Kamis dan setiap tanggal 13, 14, 15 bulan Hijriyah dan lain-lain. Banyak bukti ilmiah bahwa berpuasa sangat baik bagi kesehatan tubuh maupun ruh kita.
6. Mendekatkan Diri ke Allah Ta'ala
Tinggalkan semua urusan dan kesia-siaan yang akan menyibukkan diri dengan dunia sehingga tak ada kesempatan untuk bercengkrama dan bercerita penuh mesra - hanya dengan Allah Ta'ala. Seorang lelaki yang berniat menikah lagi untuk ke sekian kalinya justru harus semakin mendekatkan diri kepada Allah agar semua tindakannya benar-benar dibimbing oleh Allah, dan bukan dibimbing oleh hawa nafsu yang diinspirasikan kepadanya oleh Syaitan.
7. Sempurnakan Shalat Fardhu
Lelaki Muslim - baik yang berniat menikah lagi maupun tidak - mestinya paham bahwa amal yang pertama akan dihisab oleh Allah di Padang Mahsyar nanti adalah shalatnya. Kalau baik shalatnya, maka baiklah keseluruhan amalnya. Kalau buruk shalatnya, maka Allah akan campakkan shalat itu ke wajah si lelaki itu. Si lelaki Muslim itu mestinya paham bahwa wajib baginya untuk melaksanakan shalat fardhu berjamaah di masjid. Kalau shalat masih 'belang bentong', pergi ke masjid pun malas, bagaimana bisa menjadi imam?
8. Shalat Tahajjud
Bangun di sepertiga malam dan berkonsentrasi shalat dan membaca Al-Qur'an merupakan pemanasan yang sangat bagus sebelum memulai hari-hari seorang Muslim. Bangunkan istri untuk sama-sama shalat tahajjud, bukannya malahan membiarkan Syaitan kencing di telinga sehingga tidak mendengar azan Subuh. Mudah-mudahan dengan shalat tahajjud berjamaah, si lelaki Muslim dan istrinya akan memperoleh sakinah yang akan memuaskan kebutuhan jiwanya dan menurunkan ketentraman atas rumah tangganya - baik rumah tangga pertama, kedua dan seterusnya...
Dikutip dari Majalah Alia, oleh: Annisa Mardhatillah
Posting Komentar untuk "Perjanjian Berat Dengan Allah"