Sebanyak Pintu Surga
Salah satu kunci adalah ikhlas - hidup, mati, beramal-shalihah hanya karena mengharap ridha Allah Ta'ala. Manusia di sekitar kita - termasuk para penerima amal kebaikan kita - boleh saja tak tahu diri, tak tahu terima kasih, tak tahu membalas budi. Yang penting Allah Ta'ala ridha kepada kita dan mencucuri kita dengan semua hadiah yang terbaik - rezeki, keberkahan, ketentraman jiwa - di dunia dan akhirat.
Mari belajar apa itu ikhlas, salah satu karakteristik yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ikhlas berasal dari kata ikhlash yang adalah bentuk mashdar (kata benda yang terbentuk dari kata kerja dalam bahasa Arab) dari akhlasa - yukhlishu. Jadi dia terangkai dari huruf dasar kha-la-sha yang menunjukkan makna penyucian.
Jadi makna kata al-Khalish hampir serupa dengan asy-Syafi. Hanya saja kata al-Khalish (suci dan bersih) mengandung makna bahwa kesucian tersebut memiliki campuran tertentu (Ensiklopedi Akhlak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Mahmud al-Mishri). Sementara itu, kata asy-Syafi dipergunakan sebagai sesuatu yang telah menjadi suci dan bersih tanpa campuran apa pun.
Kalimat akhlasa lillahi dinahu berarti hanya menjadikan agama Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai agama yang dianut oleh seorang hamba. Sementara itu kata al-Mukhlashin bermakna orang-orang yang menyerahkan seluruh ibadah mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala saja. Adapun al-Mukhlishin adalah penganut tauhid dan hanya bertuhankan Allah saja. Karena itulah kalimat ikhlash sama artinya atau bersinonim dengan tauhid laa ilaha illallah - tiada tuhan selain Allah.
Seorang ulama, Sahal at-Tasturi, mengatakan bahwa penjabaran makna ikhlas tidak dapat ditemukan kecuali dalam hal berikut: Semua gerakan dan diamnya seseorang, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi, tidak pernah terbetik dilakukannya kecuali untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala. Selain itu, orang ini tidak pernah menduakan Allah - baik dengan orang lain, hawa nafsu maupun tujuan dunia yang lainnya.
Ulama Ibrahim bin Adham berkata bahwa ikhlas adalah ketulusan niat dalam hidup seseorang yang ditujukan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala. Abu Utsman al-Maghribi mengatakan bahwa ikhlas adalah sikap seseorang yang melupakan pandangan seluruh makhluk Allah terhadap amal yang dia lakukak lantaran selalu merasa dilihat dan diawasi oleh Allah. Jadi, bila dua hiasi amalnya demi manusia dengan sesuatu yang tidak ada dalam dirinya, maka berarti dia telah jatuh dari pandangan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
RIYA'
Salah seorang khalifah besar dalam sejarah Islam, 'Umar bin Abdul Aziz, digambarkan dalam kitab ath-Thabaqat yang ditulis oleh Ibnu Saad sebagai seorang yang sangat berhati-hati dalam menjaga keikhlasannya dalam berbuat. Begitu dia khawatir bahwa sudah masuk bibit-bibit riya' (ujub, melakukan sesuatu karena ingin dipandang baik oleh manusia lain), maka akan segera dia hentikan pekerjaannya itu.
Kalau dia berkhutbah di atas mimbar dan merasa mulai timbul rasa bangga atas dirinya sendiri, maka dia ringkas segera pembicaraannya dan dia turun dari mimbar. Kalau dia menulis kitab dan merasakan mulai muncul rasa kagum atas kecerdasannya sendiri, dia robek-robek lembaran-lembaran kitabnya itu seraya berdoa.
"Allahumma inni a'udzu bika min syarri nafsi. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan yang ada di dalam diriku sendiri.
Banyak ayat di dalam Al-Qur'an yang mengajarkan kepada kita untuk bersikap ikhlas. Ayat-ayat ini berisi anjuran dan perintah terhadap kaum Muslimin untuk mengedepankan sikap ikhlas dalam segala hal.
Allah Ta'ala berfirman di dalam Al-Qur'an surah az-Zumar ayat 2-3: "Sesungguhnya kami menurunkan kitab (Al-Qur'an) kepadamu (ya Muhammad) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya. Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni (dari syirik)..."
"Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena menjalankan agama, dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus." (Al-Qur'an surah al-Bayyinah: 5)
Suatu ketika Umar bin Khaththab bertanya kepada Sahabat Nabi, Mu'adz bin Jabal: "Apa penopang umat ini?" Mu'adz menjawab, "Ada tiga perkara. Semuanya adalah jalan menuju keselamatan. Ia adalah ikhlas yang merupakan fitrah yang Allah ciptakan bagi manusia, shalat yang merupakan tiang agama, dan ketaatan yang menjadi penjaga agar seseorang tidak jatuh dalam jurang kenistaan."
Ulama besar Ibnul Qayyim berkata, "Amal yang tidak disertai ikhlas dan tuntunan agama adalah laksana seorang musafir yang memenuhi kaus kakinya dengan pasir. Ia terus membawanya tapi tidak pernah memanfaatkannya."
CIRI UMAT ISLAM
Allah telah menjadikan ikhlas sebagai ciri utama dari umat terbaik ini. Allah menjadikan hal ini sebagai tanda ketauhidannya.
Allah Ta'ala berfirman, "Katakanlah (Muhammad), 'Apakah kamu hendak berdebat dengan kami tentang Allah padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu, dan hanya kepada-Nya kami dengan tulus mengabdikan diri." (al-Qur'an surah al-Baqarah: 139)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri pernah bersabda, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab, "Sungguh, setiap amal itu didasarkan atas niat sang pelaku. Setiap hamba akan mendapat ganjaran sesuai dengan apa yang dia niatkan. Barang siapa berhijrah karena Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya semata maka dia mendapatkan pahala hijrah yang berlandaskan Allah dan Rasul-Nya semata. Barang siapa berhijrah demi kepentingan dunia semata atau karena alasan perempuan yang ingin dia nikahi, maka dia hanya mendapatkan hijrah yang dia niatkan tersebut." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
KUNCI KEGEMBIRAAN
Sahabat Abu Hurairah pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tentang orang yang paling gembira di hari Kiamat karena mendapat syafa'at Rasulullah. Maka beliau menjawab begini:
"Menurutku, wahai Abu Hurairah, ketika aku melihat keinginanmu yang besar untuk mengetahui syafaat, tidak ada seorang pun yang lebih berhak untuk menanyakan ini kecuali dirimu. Orang yang paling gembira dengan syafaatku di hari Kiamat adalah orang yang pernah mengucapkan, "Laa ilaha illallah' dengan ikhlas dari dalam hatinya." (HR al-Bukhari)
LAPANGKAN KESULITAN
Umar bin Khaththab meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Ada tiga lelaki dari kaum sebelum kalian yang bepergian bersama dan terpaksa memasuki sebuah gua guna bermalam. Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung lalu menutup gua itu atas mereka. Mereka berkata (satu sama lain), bahwasanya "tidak ada yang dapat menyelamatkan engkau semua dari batu besar ini melainkan jikalau engkau semua berdoa kepada Allah Ta'ala dengan menyebutkan perbuatanmu yang baik-baik."
Seorang dari mereka itu berkata, 'Ya Allah, saya mempunyai dua orang tua yang sudah tua-tua serta lanjut usianya dan saya tidak pernah memberi minum kepada siapapun sebelum keduanya itu, baik kepada keluarga ataupun hamba sahaya.
Kemudian pada suatu hari amat jauhlah saya mencari kayu untuk makanan ternak. Saya belum lagi pulang pada kedua orang tua itu sampai mereka tertidur. Selanjutnya saya pun terus memerah minuman untuk keduanya itu dan keduanya saya temui telah tidur. Saya enggan untuk membangunkan mereka ataupun memberikan minuman kepada sebelum keduanya, baik kepada keluarga atau hamba sahaya.
Begitulah saya tetap dalam keadaan menantikan bangunnya mereka itu terus-menerus dan gelas itu tetap pula di tangan saya, sehingga fajar pun menyingsinglah, anak-anak saya menangis karena kelaparan dekat kedua kaki saya. Selanjutnya setelah keduanya bangun lalu mereka minum minumannya.
Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan keridhaan-Mu, maka lapangkanlah kesukaran yang sedang kita hadapi dari batu besar yang menutup ini.'
Batu besar itu tiba-tiba membuka sedikit, tetapi mereka belum lagi dapat keluar dari gua.
Yang lain berkata, 'Ya Allah, sesungguhnya saya mempunyai seorang anak paman perempuan - jadi sepupu perempuan - yang merupakan orang yang tercinta bagiku dari sekalian manusia. Kemudian saya menginginkan dirinya, tetapi ia menolak kehendakku itu, sehingga pada suatu tahun ia memperoleh kesukaran. Ia pun mendatangi tempatku, lalu saya memberikan seratus dua puluh dinar padanya dengan syarat ia mau saya gauli. Ia berjanji sedemikian itu. Setelah saya dapat duduk di antara kedua kaki sepupuku itu dia berkata, "Takutlah engkau pada Allah dan jangan membuka cincin - maksudnya merebut kegadisan - melainkan dengan cara yang benar (pernikahan). Saya pun meninggalkannya, padahal dia adalah manusia yang lebih kucintai daripada manusia manusia mana pun lagi, dan emas yang saya berikan itu saya biarkan dimilikinya. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian dengan niat untuk mengharapkan keridhaan-Mu, maka lapangkanlah kesukaran yang sedang kami hadapi ini.'
Batu besar itu kemudian membuka lagi, hanya saja mereka masih juga belum dapat keluar dari dalamnya.
Orang yang ketiga lalu berkata, 'Ya Allah, saya mengupah beberapa kaum buruh dan semuanya telah kuberikan upahnya masing-masing, kecuali seorang lelaki. Ia meninggalkan upahnya dan terus pergi. Upahnya itu saya perkembangkan sehingga bertambah banyaklah hartanya tadi.
Sesudah beberapa waktu, pada suatu hari ia mendatangi saya, kemudian berkata: Hai hamba Allah, tunaikanlah sekarang upahku yang dulu itu. Saya berkata: Semua yang engkau lihat ini adalah berasal dari hasil upahmu itu, baik yang berupa unta, lembu dan kambing dan juga hamba sahaya. Ia berkata: Hai hamba Allah, janganlah engkau memperolok-olokkan aku. Saya menjawab: Saya tidak memperolok-olokkan engkau.
Kemudian orang itupun mengambil segala yang dimilikinya. Semua digiring dan tidak seekor pun yang ditinggalkan. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian ini dengan niat mengharapkan keridhaan-Mu, maka lapangkanlah kami dari kesukaran yang sedang kami hadapi ini.'
Batu besar itu lalu membuka lagi dan mereka pun keluar dari gua itu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Sesudah membaca hadits shahih ini, masihkah kita perlu mencari bukti lain bahwa keikhlasan kita dalam beramal shalihah akan membebaskan kita dari kesulitan apa pun Insya Allah.
Dikutip dari Majalah Alia, oleh: Nurul Azka
Posting Komentar untuk "Sebanyak Pintu Surga"