Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hikmah Poligami Dalam Agama Islam

Musuh-musuh Islam menuduh, bahwa sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sematalah (bukan Allah), yang menganjurkan manusia untuk melakukan poligami, melalui pernikahan yang beliau lakukan dengan beberapa orang wanita yang baik-baik dan terhormat.

Poligami
Gambar: muslimmatters.org
Tujuan mereka ialah, ingin menyerang kesucian beliau, mengaburkan perilaku beliau, dan menimbulkan kebencian terhadap syariat beliau, terutama untuk memperburuk citra Islam. (Lihat, Naqdhu Matha’in Al-Mustasyriqin Haula Ta’addud Zaujat Shafwat Al-Muslimin, hal. 8) 

Menurut saya; Kecaman yang berkali-kali dilancarkan oleh orang orang Barat dan orang-orang yang zhalim terhadap Islam dalam masalah ini, hanya terdorong oleh kedengkian, dan hanya mencari-cari kesalahan yang tidak semestinya. (Lihat, Al-Qur’an Wa Ar-Rasul Wa Maqulat Zhalimat, oleh Doktor Abdus Shabur Marzuq, hal. 14) 

Sesungguhnya poligami itu sudah ada jauh sebelum Islam. Poligami sudah tersebar luas di kalangan bangsa-bangsa terdahulu; seperti bangsa Tibet, Mongol, Mesir, China, Persi, dan Romawi. Pada zaman Nazi, poligami juga sudah dikenal di kalangan orang-orang Jerman.

Bahkan para uskup memperbolehkan poligami kepada beberapa orang raja setelah masuknya agama Kristen ke Eropa, seperti Napoleon Penguasa Prancis. Jadi, tidak benar tuduhan orang-orang yang mengatakan bahwa; Islam adalah biangkerok yang mempelopori poligami.

Syaikh Muhammad Ad-Duhan Rahimahullah mengatakan,
“Ketika Islam datang, poligami dalam status quo. Islam tidak ingin mengabaikannya begitu saja, dan juga tidak ingin membiarkan keadaannya pada waktu itu. Tetapi Islam berusaha untuk mengatur dan memperbaikinya dengan langkah-langkah yang dapat menjamin hal-hal positif dan mencegah hal-hal yang negatif yang ada padanya. Pertimbangannya, karena poligami adalah salah satu kebutuhan individu dan masyarakat yang sangat menginginkan hidup yang tenang, kehidupan yang sejahtera, dan akhlak yang mulia.

Islam memperbolehkan seorang lelaki memiliki empat orang istri, dengan syarat ia harus bisa berlaku adil terhadap mereka dalam hal pemberian nafkah lahiriah seperti; minuman, makanan, pakaian, serta tempat tinggal, mampu menjaga kesucian serta kehormatan mereka, dan tidak boleh membeda-bedakan perlakuan terhadap mereka. Jika ia tidak sanggup memenuhi syarat-syarat tersebut, ia wajib memiliki satu orang istri saja.” (Lihat, Naqdhu Matha’in Al-Mustasyriqin, oleh Syaikh Muhammad Ad-Duhan, hal. 8)

Hikmah Poligami

  1. Jika seorang lelaki menikahi seorang wanita yang belakangan ternyata mandul sehingga tidak bisa melahirkan, padahal si suami ingin sekali memiliki keturunan, atau ia punya banyak harta yang dikhawatirkan akan tersia-sia sepeninggalannya, sementara keduanya masih tetap saling menyayangi sehingga tidak ada alasan sama sekali untuk bercerai, apakah berdasarkan pertimbangan pertimbangan tersebut Islam tidak cukup toleran kalau kemudian memperbolehkan si suami menikah lagi dengan wanita lain (dengan tetap mencintai dan menyayangi istri yang pertama)? Dengan harapan mudah-mudahan Allah memberikan keturunan anak dari istri yang kedua, sehingga hartanya tetap terjaga dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
  2. Jika seorang lelaki menikahi seorang wanita lalu punya anak, tetapi si istri kemudian mengidap suatu penyakit yang cukup kronis sehingga tidak memungkinkan untuk diajak melakukan hubungan intim, atau si istri mengalami vrigiditas yang membuat sang suami merasa tidak sabar lagi, apakah ia harus menceraikan istrinya yang sudah dalam keadaan tidak berdaya sama sekali seperti itu? Ataukah ia harus melampiaskan kebutuhan biologisnya dalam perbuatan zina? Jelas, termasuk sikap toleran kalau Islam memperbolehkan dan memberikan kemudahan kepada sang suami untuk menikah lagi, supaya ia dapat menjaga kesucian dirinya, sekaligus tetap menjaga hak-hak istrinya yang pertama.
  3. Sesungguhnya di antara manusia itu ada yang memiliki hasrat seksual yang sangat tinggi, dan ada pula yang memiliki hasrat seksual biasa-biasa saja. Bagi seorang suami yang masuk dalam tipe kedua tadi, ia sudah cukup hanya dengan satu orang istri saja, karena hal itu tidak ada masalah sama sekali. Tetapi bagi suami yang masuk dalam tipe pertama, tentu sangat sulit kalau hanya memiliki satu orang istri saja. Lalu apa yang harus ia lakukan kalau misalnya Islam menutup rapat-rapat pintu poligami?
Ia pasti akan lepas kendali seperti seekor ‘kuda binal’ yang lepas kendali. Atau ia harus tetap bersabar menahan gejolak nafsu seksual yang tidak sanggup ia lakukan? Dan inilah yang sangat jarang terjadi. Jadi, termasuk sikap toleran kalau Islam kemudian membuka pintu poligami dalam lingkup seperti yang digambarkan oleh ayat-ayat Al-Qur’an, supaya ia tidak terjerumus dalam jurang perzinaan, atau ia akan mengalami kehidupan yang sangat tertekan.” (Lihat, Naqdhu Matha’in Al-Mustasyriqin, oleh Ad-Duhan, hal. 21) 

Sesungguhnya, poligami adalah masalah yang cenderung mem bicarakan angka, bukan masalah yang membicarakan tentang teori-teori maupun praktik syariat semata. Kaum laki-laki dan kaum wanita pasti ada pada setiap umat. Jika jumlah kaum laki-laki dan jumlah kaum wanita berimbang, secara teori akan sulit untuk mewujudkan seorang lelaki bisa menikah lebih dengan satu orang wanita.

Tetapi, kalau sudah tidak ada keseimbangan dalam suatu umat, misalnya dimana jumlah kaum laki laki jauh lebih sedikit dibanding dengan jumlah kaum wanita, akibat peristiwa peperangan yang banyak merenggut korban pasukan dari kaum laki-laki, hal yang seperti inilah, jelas memberikan peluang bagi seorang laki-laki bisa melakukan poligami. 

Coba lihatlah keadaan yang sekarang terjadi di Jerman, di mana jumlah gadis tiga kali lipat lebih banyak daripada jumlah pemuda. Dan hal itu jelas merupakan problem ketimpangan sosial. Lalu bagaimana cara mengatasinya?

Ada tiga solusi yang bisa ditawarkan dalam mengatasi problema di atas:

Pertama; Seorang lelaki menikah dengan seorang wanita saja. Lalu, kedua wanita yang lain cukup hanya hidup dengan tanpa mengenal lelaki, rumah tangga, anak-anak, dan keluarga.

Kedua; Seorang laki-laki menikahi seorang wanita. Mereka hidup bergaul dalam rumah tangga. Lalu si laki-laki berselingkuh dengan wanita lain walaupun harus dengan mengorbankan rumah tangga atau anak anak. Dan jika sampai lahir anak, itu adalah hasil perselingkuhan yang akan menorehkan aib.

Ketiga; Seorang lelaki menikahi lebih dari seorang wanita. Tetapi ia bisa memperkenalkan istri-istrinya pada rumah tangga yang harmonis, keluarga yang terjamin, dan hati yang bersih dari noda pelanggaran, sehingga tidak terjadi anarchis dalam masyarakat yang diakibatkan oleh bercampuraduknya keturunan

Di antara tiga solusi tersebut, mana yang paling sesuai dengan semangat kemanusiaan, paling menjanjikan kejantanan, dan paling bermanfaat bagi si wanita?

Fatwa Panitia Penelitian Ilmiah di Riyadh
(Al-Lajnah Ad-Da’imah Li Al-Buhutus Wa Al-Ifta’ bi Ar-Riyadh, pengantar Doktor Said Abdul Azhim, hal. 654) 

Bagaimana hukum poligami? Jika poligami dibolehkan, apakah disyaratkan harus adil? Dan apakah adil itu mencakup perlakuan yang sama dalam masalah seksual dan menginap?
Bagaimana hukum orang yang ingin melakukan poligami hanya demi gengsi, walaupun ia sanggup berbuat adil? 

Jawabnya:
Poligami hukumnya sunnah bagi orang yang sanggup melakukan hal itu, dengan tujuan demi menjaga kesucian kehormatannya dan menahan pandangan matanya, atau demi memperbanyak keturunan, atau demi mendorong masyarakat atas hal itu supaya mereka merasa cukup terhadap apa yang dihalalkan oleh Allah dan mengabaikan apa yang diharamkan-Nya, atau demi memperbanyak orang yang akan menyembah Allah di muka bumi, dan tujuan-tujuan lain yang mulia.

Dalilnya ialah firman Allah Ta’ala,

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka, kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (An Nisaa’: 3)

Dan firman Allah Ta’ala,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menikahi beberapa wanita, dan beliau berlaku adil di antara mereka. Beliau bersabda,
“Ya Allah, inilah bagianku terhadap apa yang aku mampui. Tolong jangan cercah aku terhadap sesuatu yang Engkau mampu, tetapi aku tidak mampu.” Diriwayatkan oleh para ulama penulis As-Sunan dengan sanad yang shahih.
Yang di maksud oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ialah, bahwa berlaku adil itu wajib, terhadap sesuatu yang disanggupi oleh seseorang. Contohnya, seperti memberikan nafkah, menginap, dan lain sebagainya. Adapun masalah cinta dan hubungan seksual adalah di luar kemampuan seseorang.

Seorang muslim tidak boleh menghimpun lebih dari empat orang istri, berdasarkan hadits-hadits shahih yang menerangkan hal itu, dan yang menafsiri ayat-ayat Al-Qur’an. Dan Allah-lah yang menguasai pertolongan.

Tuduhan Bahwa Nabi Adalah Seorang Sex Maniac, dan Sanggahannya

Menanggapi tuduhan, bahwa orang yang paling bertakwa dan menjadi pemimpin para rasul, yaitu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam adalah sebagai orang yang sex maniac, saya ingin mengatakan:
  1. Sewaktu masih muda, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah orang yang mampu menjaga kehormatan dan kesucian. Bagaimana mungkin, ketika sudah tua beliau disebut sebagai seorang sex maniac?
  2. Sebelum menikah, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bekerjasama dengan Khadijah cukup lama. Sehingga dia merasa tertarik pada akhlak luhur beliau, lalu Khadijah yang punya inisiatif meminta beliau menikahinya. Dan bukan beliau yang punya inisiatif.
  3. Jika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dikatakan orang yang sex maniac, tentu beliau akan lebih tertarik untuk menikah dengan gadis-gadis yang cantik, setelah kematian Khadijah dan mewarisi hartanya yang cukup banyak. Tetapi dalam kenyataannya, beliau baru berpikir untuk menikah lagi justru dengan Saudah dan wanita wanita lainnya yang usianya sudah cukup udzur. Mereka sudah pernah menikah lebih dahulu sebelum beliau menikah dengan Khadijah.
  4. Sesungguhnya demi alasan tertentu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersumpah tidak mendekati dan menyentuh istri istri beliau selama sebulan. Bagaimana mungkin, seorang sex maniac sanggup menahan hasrat seksualnya selama itu?
  5. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah memberikan pilihan kepada istri-istrinya untuk tetap bersama beliau yang dalam keadaan memprihatinkan, atau minta diceraikan? Bagaimana mungkin, seorang sex maniac berani menawarkan pilihan yang penuh resiko seperti itu? Bukan mustahil istri-istri beliau akan minta diceraikan saja. Dan jika itu sampai terjadi, apa yang kemudian beliau lakukan
  6. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah orang yang mengguna-kan sebagian besar waktunya siang dan malam untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dakwah dan beribadah. Jadi, bagaimana mungkin beliau punya waktu luang untuk bersenang senang dengan para istrinya?
  7. Kehidupan ekonomi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sangat memprihatinkan. Terkadang pada pagi hari ketika tidak mendapatkan makanan yang bisa dibuat sarapan, beliau langsung niat berpuasa. Jadi, bagaimana mungkin beliau memiliki kemampuan fisik untuk bersenang-senang dengan istri-istrinya?
  8. Beberapa orang wanita pernah menawarkan diri kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk dinikahi. Tetapi beliau tidak mau menerima tawaran tersebut. Apakah mungkin orang yang sex maniac menolak tawaran seperti itu? (Lihat, Bayan Li An-Nas, oleh Syaikh Al-Azhar Jadd Al-Haq Rahimahullah, II/231) 
Lihatlah hadits tentang seorang wanita yang pernah menyerahkan dirinya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk dinikahi, yang insya Allah akan saya kemukakan nanti.



Disadur dari buku "Kado Pernikahan", Karya Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi’, terbitan Pustaka Al-Kautsar.



Posting Komentar untuk "Hikmah Poligami Dalam Agama Islam"