Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Masalah Wali dalam Pernikahan

Tidak sah hukumnya sebuah pernikahan tanpa seorang wali, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ اَنْ يَّنْكِحْنَ اَزْوَاجَهُنَّ
“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.” (Al-Baqarah: 232)
Resepsi
Gambar: pexels.com
Ayat tadi turun menyinggung tentang Ma’qal bin Yasar. Lebih lanjut dia bercerita:
”Aku menikahkan adikku dengan seorang lelaki lalu ia menceraikan adikku. Dan ketika masa iddahnya sudah berakhir, lelaki itu datang lagi untuk meminang adikku. Aku katakan kepadanya, ‘Aku sudah pernah menikahkan kamu dan memuliakan kamu dengannya, tetapi kamu menceraikannya. Dan sekarang kamu datang lagi untuk meminangnya. Demi Allah, tidak. Ia tidak akan kembali kepadamu untuk selama-lamanya. Tetapi laki-laki tersebut tidak putus asa, sementara adikku rupanya ingin ruju’ kembali kepadanya. Maka kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat ‘Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi…’

Aku berkata kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ‘Sekarang aku akan melakukannya, wahai Rasulullah.”

Beliau bersabda,
“Nikahkan lagi adikmu dengannya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, 5330)
Mengomentari tentang ayat tersebut, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i Rahimahullah mengatakan,
  1. Itu merupakan ayat yang paling tegas yang mewajibkan adanya seorang wali dalam pernikahan.
  2. Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Tidak ada pernikahan sama sekali tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil. Pernikahan apa pun yang tanpa hal itu adalah pernikahan yang batal.” (Hadits hasan li ghairihi. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, 4063)
  3. Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu Anha, ia menuturkan; Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, 
 أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، وَإِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهَا.
“Setiap wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka per nikahannya batal. Apabila ia sudah digauli, maka ia berhak mendapatkan maskawin karena kemaluannya sudah dianggap halal. Jika mereka berselisih, maka penguasa adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali sama sekali.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah) 
Al-Amir Ash-Shan’ani Rahimahullah mengatakan:
“Para ulama berbeda pendapat mengenai syarat wali dalam pernikahan. Menurut mayoritas ulama, wali merupakan syarat dalam pernikahan. Artinya, seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri.” (Lihat, Subul Al-Salam, III/192)
Diceritakan dari Ibnu Al-Mundzir bahwa ia tidak pernah mengetahui ada seorang pun sahabat yang menentang hal tersebut yang didasarkan pada beberapa hadits.

Catatan:

Imam Taqiyuddin Al-Hushni Rahimahullah mengatakan,
“Yunus bin Abdul A’la meriwayatkan bahwa sesungguhnya Asy Syafi’i mengatakan, ‘Jika dalam sebuah masyarakat ada seorang wanita yang tidak memiliki wali sama sekali, lalu ia menguasakan/mewakilkan perkaranya kepada seorang lelaki termasuk dalam hal pernikahannya, maka hukumnya boleh. Sebab, hal itu termasuk pelimpahan kekuasaan, dan status orang yang dilimpahi kekuasaan itu sama seperti hakim.” 
An-Nawawi mengatakan,
“Menurut Al-Mawardi; Jika seorang wanita tidak punya wali sama sekali, maka ia memiliki tiga pilihan:
Pertama; Ia tidak menikah.
Kedua; Ia bisa menikahkan dirinya sendiri karena alasan darurat. 
Ketiga; Ia bisa menguasakan/menyerahkan urusannya kepada seseorang, kemudian orang itulah yang akan menikahkannya. 
Asy-Syasyi mengutip pendapat penulis kitab Al-Muhadzab yang menyatakan; bahwa dalam masalah ini ia boleh menguasakan kepada seorang ulama fikih yang ahli ijtihad. Pelimpahan kekuasaan seperti itu hukumnya sah, sehingga pernikahannya pun boleh. Tetapi dengan syarat pihak yang dilimpahi kekuasaan tersebut harus orang yang memang patut untuk memberikan keputusan, dan ini cukup sulit ditemukan pada zaman sekarang. Menurut pendapat yang kita pilih; Pernikahannya sah apabila ia menyerahkan urusannya kepada orang yang adil (terjaga kehormatan dirinya), walaupun tidak sebagai mujtahid. Dan itulah pendapat yang dikutip oleh Yunus bin Abdul A’la, seorang ulama yang jujur. Wallahu a’lam.” (Lihat, Kifayat Al-Akhyar, II/356) 



Disadur dari buku "Kado Pernikahan", Karya Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi’, terbitan Pustaka Al-Kautsar.

Posting Komentar untuk "Masalah Wali dalam Pernikahan"