Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rumah Tangga Sakinah? Yes! Utang Bertumbuk? No!

"Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Mahamengetahui." (Al-Qur'an Surah An-Nuur: 32)

Demikianlah ayat-ayat pembuka Mahalli (2005) dalam bukunya "Menikahlah, Engkau Menjadi Kaya". Kita perlu meyakini ayat ini bahwa Allah Mahakaya. Berdoa minta syurga saja kita tidak malu dan kita memintanya dengan kekuatan hati, apalagi hanya meminta kekayaan. Janji Allah selalu tepat. Tentu saja semua itu dibarengi dengan ikhtiar (usaha dengan kesungguhan).

Gambar: http://www.duniaislam.org
Pada intinya, kesiapan dari pernikahan adalah kesiapan pasangan untuk menghadapi kehidupan pernikahan, yaitu setelah akad nikah itu sendiri. Kadang para bujang terlalu fokus dengan akad nikah dan walimah (perhelatan syukuran nikah) sehingga lupa dengan bagaimana kehidupan setelah menikah nanti.

Dari segi keuangan, biaya hidup sesudah nikah sering diabaikan dan pengantin mengerahkan segala sumber daya keuangan untuk walimah, sehingga akhirnya bangkrut seusai walimah. Jangan sampai dong setelah walimah yang sukses dan mewah pasangan mempelai baru bingung untuk tinggal di mana, makan sehari-hari dengan apa, biaya kesehatan, sampai dengan pengambilan keputusan masalah keuangan dalam rumah tangga.

Paling tidak, menurut para ahli perencana keuangan dan psikologi ekonomi, calon mempelai sebaiknya mempunyai persiapan tiga sampai enam bulan biaya hidup sesudah nikah. Rentang waktu ini untuk menjaga kondisi keuangan ketika keadaan darurat terjadi, misalnya berganti pekerjaan. Di Indonesia, rata-rata pengangguran paling lama adalah enam bulan, setelah itu seseorang akan bekerja lagi atau berganti pekerjaan.

Bagi yang terbiasa menghitung biaya hidup ketika bujang, maka mungkin saja hitungan itu menjadi berbeda ketika menikah. Karena bisa jadi biaya hidup setelah menikah bukanlah dua kali biaya hidup ketika masih bujang, malah mungkin menjadi lebih murah. Oleh karena itu, janganlah terburu skeptis dengan biaya hidup setelah menikah, perhitungankan dengan baik. Siapa tahu bisa lebih murah, 'kan?

Misalnya saja ketika masih bujang sering jajan ke restoran untuk setiap kali makan, tapi setelah menikah ada istri atau berdua menyiapkan hidangan di rumah, atau bahkan untuk untuk yang baru menikah bisa jadi masih disubsidi oleh pihak lain seperti orangtua. Rezeki Allah datangnya bisa dari mana saja, bukan? Prinsip mandiri boleh dipegang, tapi Allah memudahkan segala sesuatunya, kalau ada yang menawarkan rezeki kenapa harus ditolak?

KEUANGAN SETELAH MENIKAH

Sebagai permulaan pertimbangan biaya hidup setelah menikah, sebaiknya calon mempelai memiliki pegangan sendiri meskipun kemudian ada pihak lain, misalnya orangtua atau pun pemerintah yang memberi subsidi. Godwin dan Caroll (1986), Parotta dan Johnson (1998), serta Godwin (1994) menyimpulkan dari hasil penelitian mereka bahwa yang lebih mempengaruhi pasangan suami istri dalam mengatur keuangannya adalah kebiasaan dalam kehidupan keuangannya sehari-hari dan bukanlah pengetahuan tentang bagaimana seharusnya sumber daya keuangan dialokasikan.

Jadi, setiap pasangan perlu mengidentifikasi masing-masing kebiasaannya dalam hal keuangan. Komponen kebiasaan keuangan antara lain:

1. Pola Menabung Rutin

Sebuah keluarga dianggap perlu menyisihkan sebagian pendapatannya untuk ditabung rutin setiap periode tertentu, misalnya setiap awal bulan dengan jumlah tertentu, contohnya minimal 10 persen dari pendapatan yang diterima.

Jika pendapatan 5 juta, maka yang disisihkan untuk tabungan adalah minimal 500 ribu setiap awal bulan. Atau, jika masih disubsidi ketika bujang, maka berarti ada sebagian "uang jajan" yang disisihkan untuk tabungan. Jika belum ada pola seperti ini, bisa diusahakan untuk memulainya dari sekarang, sehingga pemenuhan biaya hidup setelah menikah bisa dipenuhi dan biaya walimah bisa disiasati.

Kebiasaan ini pada umumnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan darurat seperti biaya kesehatan, keluar dari pekerjaan, pensiun dini, ada keluarga yang membutuhkan, dan sebagainya yang dianggap penting. Dari tabungan inilah kemudian juga bisa berkembang untuk memenuhi kebutuhan tertentu di masa datang, salah satunya menikah, naik haji dan pendidikan anak.

2. Peduli Catatan

Anda perlu peduli pada catatan keuangan Anda. Ada sebagian beranggapan "pas butuh pas ada" adalah kondisi yang paling nyaman untuk dirinya sehingga mengabaikan pencatatan. Dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 282, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripadanya...".

Demikianlah ayat terpanjang dalam Al-Qur'an adalah menerangkan masalah ekonomi, khususnya pencatatan. Selain itu, perlu diingat, sebagai Muslim, ada kewajiban kita yang harus dipenuhi, yaitu berzakat. Anggap saja sebagai pendorong untuk mencatat adalah untuk mengetahui sebesar apa kewajiban zakat kita agar tidak salah hitung atau menjadi kurang zakatnya.

Saat ini, nishab zakat adalah sebesar 524 kg beras atau kurang lebih 2,6 juta rupiah per periode pendapatan atau 85 gr emas per tahun. Apalagi untuk mempelai yang belum mapan, dengan kata lain dari segi keuangan masih mencari-cari, pendapatan yang diterima bisa jadi tidak tetap setiap bulannya.

Ada juga rumah tangga yang memang selain mendapat penghasilan tetap, ia juga berbisnis yang penghasilannya tidak tetap, atau memberi pelatihan dengan upah tidak tetap. Bahkan yang bekerja di kantor dengan gaji tetap pun ada pendapatan yang tak terduga seperti uang rapat atau uang dinas luar kota dan sebagainya. Di sinilah pentingnya catatan. Meskipun sederhana.

3. Buat Tujuan Keuangan

Tujuan keuangan yang tercatat memudahkan kita membuat prioritas. Misalnya, target setelah lulus kuliah bisa menghasilkan pendapatan sendiri dan menabung untuk menikah tiga tahun kemudian. Seseorang yang memiliki tujuan seperti ini tentu ia akan memprioritaskan untuk menikah tiga tahun kemudian setelah dia punya penghasilan sendiri.

Ataupun misalnya target lima tahun kemudian naik haji, tentu ia akan fokus dengan tujuan itu terlebih dahulu dan mengeyampingkan pengeluaran lain.

Di Indonesia setoran daftar haji adalah 25 juta, setelah itu, kita memperoleh tempat quota untuk berangkat haji tiga tahun kemudian. Berarti, jika targetnya lima tahun kemudian naik haji, maka dalam dua tahun kita harus mengumpulkan uang sebesar 25 juta, sehingga satu bulannya adalah sekitar 1,2 juta. Dengan demikian, setiap bulan kita akan menyisihkan 1,2 juta untuk simpanan berangkat haji baru kemudian prioritas berikutnya yang dipenuhi.

Yang perlu diingat adalah, jangan sampai prioritas ini mengabaikan infak dan shadaqah. Karena hemat untuk memberi berarti pelit bin kikir. Hati-hati dengan istilah "hemat", karena jika terlalu dihitung-hitung bisa menjadi kikir. Bebaskan pengeluaran untuk infak dan shadaqah, insya Allah berkah dan Allah Mahakaya akan menggantinya dengan berlipat-lipat.

Firman Allah dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 267:
"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Mahakaya lagi Mahaterpuji. Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Mahamengetahui."

4. Sama-Sama Peduli

Kedua suami istri secara bersama (dibandingkan satu pihak saja, misalnya istri saja) bertanggung jawab dan peduli terhadap keadaan keuangan.

Vogler dan Pahl (1993, 1994) serta Pahl (1995) dalam penelitin mereka mengungkapkan, paling tidak ada lima tipe pengaturan keuangan dalam keluarga terkait kontrol dalam pengambilan keputusan.

  • Female whole wage system. Semua pendapatan suami kecuali pengeluaran pribadinya, seperti bensin/ongkos, dipegang oleh istri, termasuk seluruh pendapatan istri yang bekerja. Istri bertanggung jawab dalam mengatur semua sumber daya dan keadaan keuangan.
  • Male whole wage system. Seluruh sumber daya keuangan dalam rumah tangga diatur oleh suami sendiri termasuk mengabaikan istri yang tidak bekerja sehingga istri tidak punya pengeluaran dan pegangan untuk diri sendiri.
  • Housekeeping allowance. Ada rekening tertentu yang ditangani oleh suami dan rekening yang lain ditangani oleh istri. Biasanya dalam rumah tangga yang seperti ini, sang suami memberi sejumlah uang tertentu (tidak seluruhnya) untuk membayar kebutuhan harian rumah tangga. Pembayaran lainnya akan ditangani suami.
  • Pooling system. Kedua suami istri mempunyai akses terhadap pendapatan yang dihasilkan keduanya. Keduanya saling berbagi. Biasanya istilah yang dipakai adalah bukan "Ini uang saya" atau "Ini uangnya", melainkan "Ini uang kamu". Sangat sulit mendapatkan pola seperti ini dalam realitas kehidupan saat ini.
  • Independent management system. Masing-msing suami istri memiliki sumber pendapatan yang terpisah dan tidak memiliki akses terhadap pendapatan antara satu dengan lainnya. Penelitian mereka menemukan bahwa di kehidupan masyarakay modern, sebuah keluarga memiliki trend pola pooling (joint) system. Akan tetapi, untuk suku-suku tertentu masih menganut pola independent management system."Sungguh bila engkau memberi nafkah kepada istri dengan tujuan mencari keridhaan Allah, maka engkau akan mendapatkan pahala. Bahkan sampai sesuap nasi yang masuk ke mulut istrimu, itupun termasuk ibadah yang berpahala di sisi Allah." (HR. Muslim dari Sa'ad bin Abi Waqash).Bagi istri yang bekerja atau menghasilkan pendapatan sendiri, jika uangnya digunakan untuk keperluan keluarga, maka dianggap telah berinfak. Apalagi Burgoyne (1995) menyatakan dari hasil penelitiannya bahwa para istri lebih memiliki sense of family, lebih mementingkan kepentingan keluarga dibanding untuk dirinya sendiri, dibandingkan dengan para suami.

5. Ketergantungan Sumber Daya Keuangan Lain (Pemerintah, Keluarga)

Perlu diingat, rezeki yang berasal dari subsidi misalnya, bukan berasal dari hasil meminta, melainkan tawaran dari orangtua atau saudara, ataupun pemerintah. Alangkan baiknya jika kitalah yang memberi bukan yang diberi. Target memberi akan mendorong kita untuk produktif, menghasilkan manfaat untuk masyarakat. Kebiasaan memberi ternyata juga dapat membahagiakan kita menurut hasil penelitian dari Pennsylvania State University. That's the power of giving.

6. Kebutuhan Jangka Pendek

Memerhatikan kebutuhan jangka pendek (rekening dan biaya sehari-hari), serta jangka panjang (masa pensiun, pendidikan anak, warisan).

Kebutuhan jangka pendek dipenuhi dengan aset lancar seperti tunai, debet, cek, contohnya ketika makan di restoran. Hindari penggunaan kartu kredit jika tidak mendesak. Kartu kredit mungkin diperlukan untuk membayar tiket pesawat online yang menyulitkan kita jika datang langsung ke counternya.

Akan tetapi untuk kebutuhan pokok, hindarilah berutang untuk pemenuhannya. Para ahli tafsir mengaiktkan ayat berikut dengan kebutuhan pokok manusia. "Maka Kami berkata: "Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang, dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya."' (Al-Qur'an Surah Thaha: 117-119)

Ayat di atas menerangkan bahwa di surga manusia tidak akan kelaparan ataupun kehausan, yang berarti kebutuhan terhadap pangan (makan dan minum) terpenuhi. Kemudian, di sana pula manusia tidak akan telanjang, yang berarti kebutuhan untuk menutup aurat (pakaian/sandang) terpenuhi. Terakhir, di surga pula manusia tidak akan ditimpa panas matahari yang berarti ada tempat berlindung dan berteduh, dapat pula diartikan dengan tempat tinggal (rumah/papan).

Khusus untuk kebutuhan papan yang dirasakan mahal, usahakan pula untuk tidak berutang, paling tidak anggaplah berinvestasi, misalnya membelinya dengan cicilan tetapi kemudian disewakan, sehingga tertutupi atau paling tidak terpenuhi sebagiannya. Akan tetapi, yang utama adalah diusahakan untuk tidak berutang, apalagi jika pekerjaan menuntut untuk berpindah-pindah tempat.

Strateginya bisa dengan sebagai berikut: misalnya kita menyewa rumah 6 juta per tahun, usahakan rumah cicilan disewakan dengan harga lebih besar, perkirakan 8 juta per tahun. Atau bisa jadi untuk menghindari utang bisa saja tidak perlu membeli rumah dengan cicilan dulu, tunggu beberapa tahun kemudian setelah terkumpul uang untuk membeli rumah atau jika telah ada rezeki barulah membeli dengan tunai.

Bagaimanapun, hindarilah berutang kecuali terpaksa dan mendesak. Meskipun ia sunnatullah, dan disebutkan Allah dalam Al-Qur'an, akan tetapi, disebutkan pula bahaya-bahayanya. Yaitu, mendorong rasa malas karena terbiasa mengambil jalan pintas tanpa usaha, potensi terlilih utang dan 'izzah (harga diri) yang hilang karena sudah hilang rasa malu untuk meminta-minta, serta diperbolehkan untuk mempermalukannya.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan "Barangsiapa yang memiliki utang dan punya niat membayar, sebesar apapun utangnya akan mampu dibayarnya, dan barangsiapa berutang namun tidak ada niat membayarnya, maka sekecil apapun utangnya, dia tidak akan mampu membayarnya."

Ada pula tindakan antisipasi kerusakan atau bencana yang terjadi di luar kuasa manusia terhadap barang-barang yang kita 'miliki'. Antisipasi ini dipenuhi melalui keikutsertaan kita pada asuransi yang berbasis syariah. Prinsip asuransi berbasis syariah pada dasarnya adalah tolong-menolong antarpeserta asuransi dengan pengelolaan dana oleh perusahaan asuransi. Jika ada yang tertimpa musibah, maka para peserta lain membantunya. Demikian pula jika kemudian yang lainnya tergilir tertimpa musibah. Demikianlah konsep ta'awun dari dana tabarru' para peserta asuransi.

Masa pensiun sering diabaikan pasangan muda yang merasa masih produktif. Padahal merencanakan masa pensiun perlu dilakukan sedini mungkin. Hal ini terkait juga dengan para ahli waris kita nantinya. Generasi berikutnya akan ditinggalkan seperti apa.

"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar." (Al-Qur'an Surah An-Nisaa': 9)

7. Peduli Keuangan 10 Tahun Mendatang

Pada umumnya pasangan yang baru menikah belum settle dengan keadaan keuangannya. Masih mencari posisi dan tujuan keuangan yang tepat. Bukan pula berarti tidak perlu. Memikirkan masa depan adalah perlu, apalagi mungkin saja ada anggota baru dalam keluarga baru ini. Tentu kemudian menambah daftar kebutuhan dan prioritas.

Demikianlah untuk para bujang dan pasangan muda agar menyiapkan diri untuk perencanaan keuangan keluarga. Jika seorang bujang telah siap, maka hendaklah bersegera melangsungkan akad nikah.

"Barangsiapa telah mempunyai kemampuan untuk menikah, kemudian dia tidak menikah, maka dia bukan termasuk umatku." (HR. Thabrani dan Baihaqi)

Akan tetapi, bagi yang belum siap untuk memasuki kehidupan pernikahan, hendaklah ia menjaga kesucian dirinya agar terhindar dari fitnah dan zina.

"Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya." (QS. An-Nuur: 33)

Dalam hadits dijelaskan, "Apabila zina dan riba telah merajalela di suatu negeri, berarti mereka telah menyediakan diri mereka untuk disiksa oleh Allah." (HR. Hakim)

Wallahu a'lam bishshawab



Dikutip dari Majalah Aulia, oleh: Laily Dwi Arsiyanti

Posting Komentar untuk "Rumah Tangga Sakinah? Yes! Utang Bertumbuk? No!"