Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bila Syirik (Dalam Pernikahan) Di Hadapan Kita

Patut dicermati sejumlah prosesi pernikahan yang umum dilaksanakan sebagian besar masyarakat kita. Adakah di antaranya yang bertentangan dengan ajaran Islam?

1. MENENTUKAKAN 'KECOCOKAN' PASANGAN

Keserasian dan kecocokan bagi setiap pasangan yang bersepakat hendak menjalani kehidupan bersama-sama tak ayal memang sangat diperlukan. Terutama kecocokan jiwa, cara pandang dan pikiran dalam urusan pokok agama.

Selain itu kecocokan dalam hal-hal berkaitan prinsip-prinsip hidup lainnya pun amat diperlukan, termasuk karakter dan nilai rasa. Tentu saja kecocokan dalam hal yang terakhir ini tidak berarti selalu sama rasa, namun boleh jadi berbeda tapi saling melengkapi. Yang jelas kecocokan memang merupakan hal penting dalam pernikahan.

Namun apabila yang dimaksud dengan 'kecocokan' adalah hal-hal berbau mistis yang lagi-lagi tak ada hubungannya dengan kecocokan yang diperlukan bagi sepasang mempelai, itu masalah besar!

Sebagian masyarakat kita, ketika hendak menikahkan putra-putrinya, ada yang melakukan pengecekan 'kecocokan' dengan melihat 'kecocokan' hari dan tanggal lahir masing-masing calon mempelai, 'kecocokan' arah dan posisi rumah masing-masing keluarga mereka, dan yang semacam dengan itu. Sebagian masyarakat kita itu sangat meyakini 'kecocokan' yang ditentukan dengan perhitungan-perhitungan semacam itu akan membawa kebahagiaan, kelanggengan dan keberuntungan dalam rumah tangga bagi pasangan yang akan menikah tersebut. Bagaimana akal sehat dapat menerima kepercayaan semacam itu?

Sedangkan menurut Islam, semua kepercayaan yang tidak merujuk kepada ajaran Islam, dilarang oleh agama, dan hal itu hanya mendatangkan murka Allah. Perbuatan yang dilakukan berdasarkan kepercayaan-kepercayaan seperti itu juga sudah tentu tidak dapat diterima di sisi Allah, meskipun 'dihiasi' dengan berbagai embel-embel agama.

Gambar: http://www.metafisis.com

2. MENENTUKAN 'HARI BAIK'

Setiap pasangan mempelai tentu menginginkan acara pernikahannya berjalan lancar dan menyenangkan, baik bagi kedua mempelai serta sanak keluarga mereka, maupun bagi tetamu lainnya. Di antara situasi dan kondisi baik yang diinginkan tentu saja hari yang cerah, di mana dapat berkumpul sebanyak mungkin sanak kerabat dan undangan lainnya.

Apabila dengan pertimbangan ini kemudian ditentukan hari yang baik untukdiselenggarakan akad nikah berikut resepsinya pada musim panas yang bertepatan dengan hari libur nasional misalnya, atau tak lama setelah hari Idul Fitri, di mana diperkirakan sanak saudara masih berkumpul di daerah asal, maka penentuan hari H semacam ini baik-baik saja.

Masalahnya adalah jika penentuan 'hari baik' itu berdasarkan kepercayaan yang yak berdasar sama sekali. Seperti kepercayaan jika pernikahan dilakukan pada hari tertentu dengan perhitungan tertentu pula akan menimbulkan musibah dan petaka. Atau hari ini dengan perhitungan itu akan mendatangkan keselamatan dan keberuntungan, dengan menggunakan hitungan-hitungan dan 'membaca' simbol-simbol tertentu, yang sebenarnya tidak ada kaitannya sama sekali nasib seseorang.

Seperti yang tak jarang dilakukan sebagian masyarakat kita yang menentukan hari H pernikahan putra-putrinya dengan perhitungan weton (hari lahir berdasarkan perhitungan Jawa) kedua calon pengantin dengan harapan agar pernikahan itu kelak mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi seluruh anggota keluarga. Nampak jelas dalam keyakinan semacam itu bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan tergantung pada perhitungan weton.

Penentuan 'hari baik' semacam itu hanyalah merendahkan martabat manusia yang telah Allah anugerahi akal sehat untuk berpikir sehat. Tak heran apabila Allah mengharamkan kepercayaan-kepercayaan demikian.

3. SAJIAN 'PENOLAK BALA', 'ROH JAHAT'

Membuat dan meletakkan saji-sajian (sesajen) yang dipersembahkan kepada suatu yang dianggap memiliki kekuatan - tentunya selain Allah - tak dapat dipungkiri merupakan bentuk syirik nyata terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apa pun alasannya dan di mana pun diletakkannya. Di pintu masuk rumahkah, di dapurkah atau di tempat-tempat dilakukannya berbagai prosesi lainnya. Semuanya adalah perbuatan syirik yang dimurkai Allah.

Biasanya sesajen diletakkan dengan tujuan 'mengusir roh jahat'. Entah roh apakah yang dimaksudkan. Mengadakan sesajian semacam ini menunjukkan adanya keyakinan - yang jelas tidak benar - bahwa dalam kehidupan ini, ada kekuatan lain -selain kekuatan Allah - yang patut ditakuti pengaruh jahatnya sehingga perlu 'dinegoisasi' dengan memberikan sesajen.

Selain merupakan perbuatan syirik besar yang apabila pelakunya belum sungguh-sungguh bertaubat sampai ajal menjemputnya maka dosa syiriknya itu tidak akan diampuni Allah, perbuatan semacam itu juga merendahkan akal budo manusia. Allah telah memberinya akal sehat untuk dapat berpikir jernih, namun karunia itu dicampakkan begitu saja oleh pemiliknya dan justru memilih untuk berpikir di luar akal sehat yang merendahkan martabatnya sendiri sebagai manusia.

4. 'MENOLAK' HUJAN

Di antara hal yang sangat sering dijumpai dalam sebagian masyarakat kita ketika mereka melangsungkan pernikahan putri mereka adalah upaya 'menolak' hujan. Hujan, yang dalam Al-Qur'an dikatakan sebagai rahmat, khusus pada aacara perhelatan pernikahan dianggap sebagai penghalang keberuntungan.

Seringkali pikiran tersebut hanya berangkat dari hal yang sederhana saja. Yaitu keluarga penyelenggara khawatir apabila hujan turun, para tamu undangan akan banyak yang berhalangan hadir. Bahkan tak sedikit yang berpikir bahwa jika banyak yang berhalangan hadir karena hujan, maka berarti 'rejeki' berupa 'amplop' yang datang juga sedikit. Seakan-akan menyelenggarakan perhelatan pernikahan putra dan putri mereka adalah ajang berjualan yang diharapakan keuntungannya, kalau perlu untung besar.

Padahal, pernikahan dalam Islam bernilai ibadah kepada Allah. Dan juga ada cara lain untuk memperoleh untung besar, yaitu berdagang dalam arti yang sebenarnya. Dan tentu saja bukan pada acara penyelenggaraan pernikahan. Apapun motivasinya, tak sedikit dari masyarakat kita yang masih melakukan berbagai ritual 'menolak' hujan yang tak jarang sampai mendatangkan 'pawang' hujan.
Mulailah sang dukun hujan berkomat-kamit membaca mantra-mantra yang bertujuan menolak hujan. Ditambah lagi dengan upaya lain yang amat sangat menghina dan merendahkan martabat perempuan, bahkan sang calon mempelai wanita itu sendiri, yaitu melempar pakaian dalam miliknya ke atap rumah tempat diselenggarakannya pernikahan yang bersangkutan. Tujuannya, tak lain: 'menolak hujan'. Akhirnya, pernikahan yang dalam ajaran Islam di antaranya memiliki tujuan memuliakan perempuan, dalam adat sebagian masyarakat kita justru diawali dengan menghina dan merendahkan harga dirinya.

Dapatkah dicerna oleh pikiran sehat, seperti apakah 'moral' pemilik 'kekuatan' yang mampu menahan hujan itu, sehingga ia sangat menyukai pakaian dalam wanita? Atau memang ia juga 'wanita' yang memerlukannya? Ke manakah perginya akal sehat pemberian Sang Pencipta.

5. MELETAKKAN PATUNG SIMBOL KEBAHAGIAAN

Adalagi yang masih dilakukan sebagian masyarakat kita dalam salah satu prosesi pernikahannya yang tak lepas dari syirik, yaitu meletakkan patung Loro Blonyo di ruangan tempat dilakukannya prosesi tersebut. Patung itu dianggap sebagai simbol kebahagiaan.

Padahal berapa banyak pernikahan yang tak menghadirkan patung tersebut yang pengantinnya tetap terus berbahagia menjalani kehidupan bersama dalam pernikahannya itu? Apalagi patung itu hanya dikenal oleh suku tertentu saja di negeri ini. Sementara masyarakat lainnya yang tak mengenal patung semacam itu dalam upacara-upacara pernikahan mereka, dapat berbahagia dalam rumah-rumah tangga mereka. Pada hakikatnya keyakinan terhadap patung dan semacamnya itu hanyalah pembodohan atas manusia saja.

6. BULAN PANTANGAN

Apabila seseorang memilih bulan-bulan musim panas untuk melaksanakan pernikahannya karena kemungkinan besar tidak turun hujan dan hari cerah, maka pertimbangan seperti ini tidak masalah. Namun, apabila penetapan bulan di mana dilaksanakan suatu pernikahan dilakukan berdasarkan berbagai keyakinan yang tidak ada dasar pijak dari ajaran Islam dan akal sehat, maka di situ terbuka lebar pintu syirik.

Ada keyakinan pada sebagian masyarakat kita bahwa apabila melaksanakan pernikahan di bulan Muharram (dalam tahun Hijriyah), atau disebut juga bulan Suri, karena mengadakan hajatan di bulan tersebut dianggap tidak baik. Dikatakan bahwa bulan itu adalah bulan angker, dan nggegirisi. Kalau nekad mengadakan hajatan, maka diyakini pernikahan yang dilaksanakan pada bulan itu akan mengalami bala bencana.

Bahkan lebih menggelikan lagi, diyakini bahwa bulan itu dikuasai oleh 'kekuatan' Nyi Roro Kidul. Karena katanya, di bulan itu Nyi Roro Kidul bermenantu. Jika pertimbangan ini dimasukkan dalam menentukan hari pelaksanaan pernikahan, maka hal ini termasuk syirik. Tidak ada larangan dalam Islam melaksanakan pernikahan di bulan ini, meskipun tidak ada juga kewajiban melaksanakannya di bulan ini. Hanya saja keyakinan pantangan bulan tertentu seperti ini tidak pantas ada dalam benak orang beriman.

7. PROSESI SIRAMAN

Sebuah blog yang berisi masalah-masalah budaya masyarakat kita menulis sebagai berikut tentang prosesi siraman.

"Upacara siraman dilakukan sebelum acara midodareni. Tempat untuk siraman dibuat sedemikian rupa sehingga nampak seperti sendang (semacam telaga kecil) yang dikelilingi oleh tanaman beraneka ragam. Pelaku siraman adalah orang yang dituakan yang berjumlah tujuh diawali dari orangtua yang kemudian dilanjutkan oleh sesepuh lainnya. Setelah siraman, calon pengantin membasuh wajah (istilah Jawa: raup) dengan air kendi yang dibawa oleh ibunya, kemudian kendi langsung dibanting/dipecah sambil mengucapkan kata-kata: 'cahayanya sekarang sudah pecah seperti bulan purnama'. Setelah itu, calon pengantin langsung dibopong oleh ayahnya ke tempat ganti pakaian.

Setelah berganti busana, dilanjutkan dengan acara potong rambut yang dilakukan oleh orangtua pengantin wanita. Setelah dipotong rambut dikubur di depan rumah," begitulah sang pemilik blog tersebut menulis.

Di samping itu, pada acara siraman calon pengantin perempuan, sang pengatin hanya memakai kain basahan atau kemben dan pada bagian bahunya ditutupi rangkaian bunga melati. Dan sebagimana disebut di atas, air siraman bahkan diambil dari 11 sumur. Pengambilan air ini tentu saja diiringi dengan kepercayaan tertentu. Dengan mengetahui susunan acara dalam prosesi ini saja, nampak jelas khurafat (kepercayaan tak berdasar) bertebaran di sana-sini. Meyakininya sebagai suatu yang harus dijalankan, adalah syirik, apalagi melaksanakannya. Na'udzubillah min dzalik.

Wallahu a'lam bishshawab




Dikutip dari Majalah Aulia

Posting Komentar untuk "Bila Syirik (Dalam Pernikahan) Di Hadapan Kita"