Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Menangguhkan Mahar dalam Pernikahan

Mahar atau maskawin ialah; sesuatu yang menjadi hak seorang istri sebagai kompensasi dari sebuah pernikahan dengan seorang pria. Jadi, mahar bukan merupakan pemberian dari suami, melainkan sebagai konpensasi atas kenikmatan yang diperolehnya. (Al-Majmu’ XVI/324) 

Mas kawin
Gambar: unsplash.com
Adapun nama-nama lain mahar dalam Al-Fiqhu Al-Muyassar; Mahar, Hayya’, Shadaq, Aqar, Nihlah, Ala’iq, Ujr, Thaul, Faridhah, Nikah.

Kewajiban Memberi Mahar Bagi Laki-laki

Wajib hukumnya bagi seorang lelaki, memberikan mahar yang telah disepakati bersama antara ia dengan wali calon istrinya. Hal itu berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisaa’: 4)
فَانْكِحُوْهُنَّ بِاِذْنِ اَهْلِهِنَّ وَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Karena itu, kawinilah mereka dengan seizin orangtuanya, dan berilah maskawinnya menurut yang patut.” (An-Nisaa’: 25)

“Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu membayar kepada mereka maharnya.” (Al-Mumtahanah: 10)

Hukum Menangguhkan Mahar

Boleh hukumnya menangguhkan pembayaran mahar atau menangguhkan sebagiannya, apabila seorang lelaki memang belum sanggup membayarnya. Tetapi konsekuensinya, ia tidak boleh menggauli istrinya terlebih dahulu sebelum menyerahkan mahar kepadanya. Hal itu berdasarkan beberapa atsar berikut ini:

Pertama

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, 
“Ketika Ali menikahi Fatimah, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada Ali, ‘Berikan sesuatu kepadanya.” Ali menjawab, “Aku tidak memiliki apa-apa.” Beliau bersabda, “Mana tameng (baju besi) huthamah milikmu?” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud) 
Dalam riwayat lain disebutkan, “Sesungguhnya ketika Ali telah menikahi Fatimah Radhiyallahu Anha, Ali ingin menggaulinya. Tetapi, ia dilarang oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sebelum ia memberikan sesuatu kepada Fatimah.” Ali berkata, “Wahai Rasulullah, saya tidak punya apa-apa.” Beliau bersabda kepada Ali, “Berikan kepadanya tameng (baju besi) huthamah milikmu itu.” Setelah memberikan baju besi tersebut, ia lalu menggauli Fatimah. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud No. 2236)

Kedua

Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma, ia berkata,
“Tidak halal bagi seorang muslim menggauli istrinya sebelum ia menyerahkan mahar kepadanya, baik sedikit atau banyak.” (Isnadnya shahih, dan diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah, III/499)

Ketiga

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, ia berkata,
“Jika seorang lelaki menikahi seorang wanita dan ia sudah menyebutkan maskawin kepadanya, lalu ia ingin menggaulinya, maka hendaklah ia memberikan kain jarit kepada istrinya, atau sebuah cincin kalau ia memilikinya.” (Isnadnya shahih, dan diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam Mushannaf Abdul Razzaq, VI/183) 

Keempat

Diriwayatkan dari Az-Zuhri, sesungguhnya ia berkata,
“Kami mendengar dalam sunnah bahwa seseorang tidak boleh menggauli seorang wanita sebelum ia memberikan nafkah atau memberikan pakaian kepada istrinya. Itulah salah satu yang diamalkan oleh kaum muslimin.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Hazm dalam Al-Mahalli, IX/488)

Kelima

Diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri dan Ibrahim An-Nakha’i, bahwa mereka berdua tidak suka seseorang menggauli istrinya, sementara ia belum memberikan sedikit pun dari maskawinnya.” (Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah, III/ 499) 

Keenam

Ibnu Sirin mengatakan,
“Ia harus memberikan sesuatu kepada istrinya, walaupun hanya sepotong baju, kemudian ia baru boleh meng-gaulinya.” (Ibid) 

Ketujuh

Diriwayatkan dari Qatadah bin Du’amah Ad-Dusi, ia berkata,
“Ia harus memberikan hadiah berupa sesuatu apa pun.” (Ibid) 

Kedelapan

Al-Auza’i mengatakan,
“Mereka menganggap baik, agar seorang suami jangan dahulu menggauli istrinya sebelum ia menyerahkan sesuatu kepada istrinya.”
Mengomentari hadits Ibnu Abbas yang menerangkan tentang pernikahan Ali dengan Fatimah Radhiyallahu Anha tersebut, Amir Ash-Shan’ani Rahimahullah mengatakan, 
“Hadits tersebut menunjukkan bahwa, sebaiknya seorang suami mempersembahkan sesuatu terlebih dahulu kepada istri sebelum menggaulinya, untuk menyenangkan perasaannya. Dan itulah tradisi yang dikenal di kalangan seluruh manusia.” (Lihat, Mausu’at Az-Ziwaj, oleh syaikhuna Ir. DR. Ibrahim Al-Hafnawi)
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Barangsiapa yang membayar mahar dengan dua dirham, maka ia telah sah nikahnya.” (Lihat, Subul As-Salam, III/243) 

Kesembilan

Diriwayatkan bahwa sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melihat Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu Anhu memakai parfum za’faran. Beliau bertanya,
“Kamu sedang bergembira?” Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, aku baru saja menikahi seorang wanita Anshar.” Beliau bertanya, “Apa maskawinnya?” Ia menjawab, “Lima dirham emas.” Beliau bersabda, “Adakan walimah, walau hanya dengan memotong seekor kambing.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari No. 1944), dan oleh Muslim No. 80)
Sementara menurut pendapat para ulama dari kalangan madzhab Hanafi, maskawin itu minimal adalah sepuluh dirham. Tetapi pendapat ini tidak ada dalilnya sama sekali. (Rahmah Al-Ummah, oleh Ash Shafdi, hal. 164, dan Kifayat Al-Akhyar, II/37) 

Sedangkan menurut pendapat para ulama dari kalangan madzhab Maliki, maskawin itu minimal seperempat dinar atau tiga dirham. 

Dalil yang mereka gunakan sebagai pedoman dalam masalah ini ialah ayat Al-Qur‘an:
  1. “(yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.” (An-Nisa’: 24)
  2. “Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman.” (An-Nisa’:25)
Hal itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kalimat hartamu ialah sebagian harta (Lihat, Tuhfah Al-Arus, oleh Muhammad bin Abi Al-Qasim At-Tajjani, hal. 61). Artinya; boleh banyak dan boleh sedikit.

Yang Diunggulkan dalam Masalah Ini
Yang diunggulkan dalam masalah ini yaitu; Pendapat para ulama dari kalangan madzhab Asy-Asy-Syafi’i, karena dalil-dalil yang mereka gunakan sangat kuat.

Dalam salah satu riwayat, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat, bahwa hal itu tidak bisa disebut mahar (Rahmah Al-Ummah, oleh Shadruddin Al-Utsmani Ash-Shafdi Asy-Syafi’i, hal. 164) 
Menurut mereka, makna hadits “Aku menikahkan kamu dengannya dengan maskawin hafalan Al-Qur’an yang kamu punyai.” Ialah; “Aku nikahkan kamu dengannya, karena kamu adalah orang yang ahli Al Qur’an.” (Mausu’ah Al-Ziwaj, oleh Syaikhuna Ir. DR. Ibrahim Al-Hafnawi)

Ash-Shan’ani Rahimahullah mengatakan,
“Para ulama dari kalangan madzhab Hanafi memiliki pendapat yang berbeda. Mereka terlalu berani mena’wili hadits. Menurut mereka, pernikahan tanpa mahar itu adalah termasuk kekhususan bagi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan hal itu menyalahi prinsip (Subul As-Salam, oleh Al-Amir Ash-Shan’ani, III/189). 
Dalam masalah ini, pendapat yang diunggulkan ialah pendapat para ulama dari madzhab imam Asy-Syafi’i.



Disadur dari buku "Kado Pernikahan", Karya Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi’, terbitan Pustaka Al-Kautsar.

Posting Komentar untuk "Hukum Menangguhkan Mahar dalam Pernikahan"