Ketika Cinta Harus Memilih
Al-Qur'an menyatakan: "Dijadikan indah bagi manusia, kecintaan kepada aneka syahwat yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang tak terbilang dari jenis emas, perak, kuda piihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang" (QS. Ali 'Imran: 14). Namun, cintailah keluarga sebatas mawaddah. Jangan lebih dari itu, yang akan membuat Allah Subhanahu wa Ta'ala cemburu.
![]() |
Gambar: http://www.wattpad |
DUA CEMBURU
Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah menjelaskan, cemburu ada dua macam. Yaitu cemburu karena (because of) kekasih, dan cemburu terhadap (for) kekasih.
Cemburu karena kekasih adalah semangat yang menggelora dan marah jika kekasihnya itu diremehkan haknya, direndahkan kehormatannya, dan mendapat gangguan dari pihak lain (rivalnya). Cemburu ini adalah kecemburuan hakiki yang merupakan manifestasi rasa cinta. Cinta yang sedemikian besar, sehingga sang pencemburu merasa nothing to lose untuk mengorbankan raga, bahkan jiwanya demi sang kekasih, sampai penyebab cemburunya itu sirna.
Cemburu kedua, adalah kemarahan dan ketersinggungan orang yang jatuh cinta terhadap pihak lain (pesaing) yang juga mencintainya. Nah, Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menciptakan rasa cemburu pada manusia itu pun, adalah Zat yang Mahacemburu. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menginformasikan bahwa "Tidak ada satu pun yang lebih cemburu daripada Allah" (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
CEMBURU ALLAH
Bagaimana Allah cemburu? Allah Mahapencemburu karena kekasih, dan Dia juga cemburu bila kekasihnya melebihkan cintanya kepada pihak lain. Jika orang yang tidak beriman saja masih diperhitungkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan sifat Rahman-Nya, maka setiap mu'min adalah kekasih-Nya. Allah dekat dengannya, bahkan lebih dekat ketimbang urat lehernya sendiri. Dia marah bila mu'min seperti tidak butuh kepada-Nya, dan Dia mengabulkan setiap pintanya. "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kukabulkan". (Al-Qur'an Surah Al Mu'min: 60)
"Sungguh, Allah senantiasa melindugi hamba-Nya yang mu'min dari dunia, sebagaimana salah seorang di antara kalian melindungi orang sakit dari makanan dan minuman," demikian wasiat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan At-Tirmidzi. Namun, kecemburuan Allah bersifat interaktif. Karena itu, kata Nabi lagi, "Sesungguhnya Allah sangat cemburu untuk orang Islam, maka seorang Muslim pun harus cemburu untuk Allah" (HR. Thabrani)
Bagaimana agar mu'min tidak membuat cemburu Allah? Yaitu, jangan melakukan apa yang dibenci-Nya. Wasiat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Tak ada sesuatu pun yang lebih cemburu daripada Allah, maka dari itu Dia mengharamkan perbuatan buruk dan maksiat" (HR. Bukhari-Muslim). Juga, "Tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah. Untuk itu Dia haramkan berbagai kekejian, yang tampak maupun yang tersembunyi..." (HR. Bukhari-Muslim)
"Sesungguhnya Allah itu cemburu dan orang Mu'min itu cemburu. Kecemburuan Allah ialah jika orang Mu'min melakukan apa yang diharamkan atas dirinya." (HR. Bukhari-Muslim). Batas cinta Muslim terhadap orangtua misalnya, tersimpul jelas dalam wasiat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam kemaksiatan."
"Sesungguhnya Allah itu cemburu dan Mu'min itu cemburu. Kecemburuan Allah ialah jika orang mu'min melakukan apa yang diharamkan atas dirinya." (HR. Bukhari-Muslim). Batas cinta Muslim terhadap orangtua misalnya, tersimpul jelas dalam wasiat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam kemaksiatan."
Maka, ketika ibunda Sa'ad bin Abi Waqqas mogok makan agar anaknya murtad dari Islam dan kembali pada ajaran paganisme (kepercayaan menyembah berhala) nenek moyang, Sa'ad berkata, "Duhai Bunda, sekalipun nyawa Bunda rangkap tujuh dan lepas satu per satu karena Bunda mogok makan, sekali-kali anakmu ini tidak akan pernah meninggalkan ajaran Muhammad."
Selain kemaksiatan, hal yang dicemburui Allah adalah bila mu'min menomorduakan cintanya pada Tuhan. Baik di bawah cinta kepada manusia maupun harta benda. Firman Allah: "Katakanlah: 'Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq." (QS. At-Taubah: 24).
"Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintai sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah..." (QS. Al-Baqarah: 165). Salah satu sahabat Nabi yang mencintai Allah setulusnya adalah Abu Ubaidah bin Jarrah. Di perang Badar, Abu Ubaidah pun berusaha menghindari ayahnya yang masih berpihak di barisan kafir Quraisy. Namun, setelah Al Jarrah berkali-kali menantangnya duel, Abu Ubaidah akhirnya bersedia melayani. Al Jarrah pun tewas di tangan putranya.
Betapa hancur Abu Ubaidah, harus membunuh ayahnya sendiri meskipun untuk mempertaruhkan kebenaran. Allah Subhanahu wa Ta'ala lalu menghibur Abu Ubaidah dan kaum Muslimin dengan ayat 22 surat Al Mujaadilah: "Kamu (Muhammad) tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan para penentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya, atau keluarganya. Mereka itulah orang-orang yang dalam hatinya telah ditanamkan Allah keimanan dan Allah telah menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari Dia..."
RINDU BERTEMU
Setiap saat kita bisa bermunajat dengan Allah. Lewat shalat, misalnya. "Shalat", kata Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, "adalah mi'raj-nya orang beriman." Dengan demikian, shalat merupakan puncak pengalaman ruhani ketika ruh para pecinta Ilahi akan naik ke sidratul muntaha - tempat tertinggi saat Rasulullah diundang untuk bertemu dengan-Nya. Seorang pecinta sejati Allah senantiasa merindukan shalat, karena inilah media untuk "bertemu" dengan Rabb. Baginya, sudah lewat masa ketika shalat sekadar memenuhi sebuah kewajiban.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata, "Ada hamba yang beribadah kepada Allah karena ingin mendapatkan imbalan, itu ibadahnya kaum pedagang. Ada hamba yang beribadah karena takut siksaan, itu ibadahnya budak, dan ada sekelompok hamba yang beribadah karena cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, itulah ibadahnya orang mu'min".
Mengharap 'imbalan' atas ibadah, baik berupa pahala atau pengampunan dosa, wajar saja. Nabi Muhammad pun berkata, "Siapa yang berpuasa karena iman dan semata-mata mengharap pahala, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu" (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun, beribadah dengan motivasi karena ketakutan (fear motivation) menunjukkan kecerdasan spiritual paling rendah. Di atasnya ada motivasi hadiah (reward motivation) sebagai kecerdasan spiritual yang lebih baik. Tingkatan berikutnya adalah motivasi karena memahami bahwa kitalah yang membutuhkan untuk menjalankan ibadah agama kita (internal motivation). Dan tingkatan kecerdasan spiritual tertinggi adalah ketika kita menjalankan ibadah karena kita menyadari diri kita sebagai hamba Allah yang berusaha meraih cinta-Nya (love motivation)
Dalam sebuah inspiring story dikisahkan, suatu sore seorang nyonya bermaksud memampirkan tiga pengelana ke rumahnya. Ketiganya tampak sedang dalam perjalanan jauh, sehingga wanita ini iba dan mengundang mereka untuk makan malam bersama dengan keluarganya.
Di halaman rumah, ketiga pengembara memperkenalkan diri. "Saya Wealth, dia bernama Success, dan teman saya yang satu lagi ini bernama Love", kata seorang di antaranya sambil dengan santun menambahkan, "Maaf, kami tidak dapat masuk bersama-sama ke dalam rumah. Silahkan Anda pilih siapa di antara kami yang Anda undang lebih dulu?"
Kemudian si wanita masuk dalam rumah dan menceritakan kejadiannya pada sang suami. Mendengar hal itu, suami spontan berkata, "Sudah jelas bagi kita untuk mengundang Wealth. Dengan kekayaan, kita dapat memiliki dunia ini." Tapi sang istri lebih sreg memilih Success untuk menikmati kehidupan di dunia ini. Tiba-tiba anak mereka berumur sebelas tahun nimbrung, "Mengapa kita tidak memilih Love saja, sehingga kita bisa saling mengasihi dan menciptakan kedamaian dalam kehidupan kita."
Ya, akhirnya mereka sepakat mengundang Love. Sang isteri kemudian menyampaikan keputusan keluarga kepada para tamu. Maka, masuklah Love ke dalam rumah. Namun, langkahnya ternyata diikuti kedua temannya. Maka bertanyalah wanita itu, "Kami hanya mengundang Love, mengapa kalian berdua juga turut masuk? Bukankah kalian sendiri berkata bahwa kalian tidak dapat masuk bersama-sama ke dalam rumah?"
Salah satu dari tiga tamu menjelaskan, "Benar, jika kalian mengundang saya, Wealth, atau teman saya, Success, dua orang dari kami akan tetap tinggal di luar. Tapi karena Anda mengundang Love, maka kami berdua selayaknya ikut ke dalam. Sebab, ke mana pun Love pergi, kami senantiasa mengikutinya. Where ever there is love, there is also wealth and success".
Ya, begitu pun kalau Allah Subhanahu wa Ta'ala sudah cinta, apa sih yang tidak mungkin bagi kekasih-Nya. Seperti disampaikan dalam sebuah hadits Qudsi: "Siapa yang memusuhi wali-Ku, kumaklumatkan perang kepadanya. Tidaklah lebih kusukai pendekatan hamba kepada-Ku, kecuali dengan amalan yang telah Ku-wajibkan. Jika hamba-Ku berupaya terus-menerus lebih dekat dengan-Ku melalui amalan-amalan sunnah, akhirnya Aku mencintainya, dan bila Aku mencintainya, pendengarannya adalah pendengaran-Ku, penglihatannya adalah penglihatan-Ku, gerak tangannya adalah gerakan tangan-Ku, dan langkah kakinya menjadi langkah-Ku. Bila ia memohon pasti Ku-kabulkan, dan bila ia meminta perlindungan pasti Ku-lindungi." (HR. Bukhari).
Dalam kitab Al Mahabbah, Imam Ghazali menegaskan, cinta kepada Allah adalah puncak dari segala tujuan (al ghayatul ghayah) seluruh maqam spiritual. "(Allah) mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya." (QS. Al-Maidah: 54). Surga, memang imbalan sepantasnya bagi kecintaan pada Allah Ta'ala. Tapi, menurut Al-Ghazali, kenikmatan surga tidak ada artinya dibandingkan kenikmatan perjumpaan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana firman-Nya: "Orang-orang yang yakin bahwa mereka akan bertemu dengan Tuhan mereka" (QS. Al-Baqarah: 46)
Dikutip dari Majalah Aulia, oleh: Nurbowo
Posting Komentar untuk "Ketika Cinta Harus Memilih"