Bukan Sekedar Cinta-Cintaan
Berikut ini adalah bincang AULIA dengan Ustadzah Hj. Dra. Andi Nurul Djannah, Lc, Sekretaris Bidang Muslimat Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, mengenai cara meraih ridha Allah agar diberkahi keluarga yang bahagia.
BAGAIMANA PERNIKAHAN MENURUT ISLAM?
Perkawinan sangat penting dalam kehidupan manusia. Di dalam pernikahan yang sah, pergaulan antara laki-laki dan perempuan menjadi terhormat sesuai dengan kedudukan manusia sebagai khalifah di bumi, yang tugasnya mengabdi kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Tujuan perkawinan dalam Islam adalah membangun keluarga yang tenang, tentram dan sejahtera yang disebut keluarga sakinah, mawadah wa rahmah. Sebagaimana dijelaskan dalam Surat Ar Ruum ayat 21,
"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir".
![]() |
Gambar: http://www.vebma.com |
Tentunya untuk mencapai keluarga seperti itu harus ada aturannya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan, "Menikah itu adalah sunnahku. Siapa yang tidak mengikuti sunnahku, tidak termasuk golonganku." Kalau melihat Surat Ar Ruum dan hadits tersebut di atas, maka untuk membentuk keluarga sakinah harus melalui proses mengikuti peraturan.
APA SAJA PERATURANNYA?
Perkawinan dalam Islam bukan hanya didasari oleh saling mencintai. Yang terpenting adalah menuruti Syari'ah Islam. Pertama, calon pengantin laki-laki dan perempuan harus Muslim dan Muslimah alias seiman. Iman yang sama mengabsahkan pernikahan itu. Sebagaimana dijelaskan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat Al Baqarah ayat 221 dan Surat Al Mumtahanah ayat 10.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan laki-laki musyrik dengan perempuan yang beriman, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran." (QS. Al-Baqarah: 221)
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam surat Al Mumtahanah ayat 10, "Perempuan mu'min tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka."
Dari ayat ini secara jelas menyatakan, seorang laki-laki Muslim tidak boleh menikah dengan perempuan musyrik, sampai perempuan itu beriman. Kepada wali, tidak boleh menikahkan orang dalam perwaliannya dengan seorang laki-laki musyrik sehingga dia beriman. Seorang laki-laki mu'min meski budak lebih baik daripada laki-laki musyrik. Iman yang sama menjadi syarat utama yang harus dipenuhi sebelum terjadi pernikahan dalam Islam.
Kedua, calon pengantin tidak boleh satu mahram. Artinya, orang yang berhak untuk melindungi perempuan. Yang dimaksud sebagai mahram dijelaskan dalam surat An Nisaa' ayat 22-24. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)." (Qs. AN-Nisaa': 22)
"Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuan sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Mahapengampun, Mahapenyayang." (QS. An-Nisaa': 23)
"Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka, sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling merelakannya, setelah ditetapkan mahar itu. Sungguh, Allah Mahamengetahui, Mahabijaksana." (QS. An-Nisaa': 24)
Ketiga ayat dalam surat An-Nisaa' ini menjelaskan laki-laki dan perempuan dalam satu mahram, tidak boleh menikah.
Memilih calon pasangan hidup pun jangan sembarangan. Niatnya mengharapkan ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala. Perlu diingat alasan memilih calon pasangan, karena kecantikannya, harta, keturunan atau agamanya.
Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan, "Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, agar selamatlah dirimu."
Ketiga, rukun nikah. Setiap Muslim dan Muslimah bila berniat menikah, harus melaksanakan prosedur rukun nikah. Yaitum ada calon pengantin yang seiman, ijab qabul, wali, saksi, mahar. Sebagai warga negara, supaya mendapat pengakuan dari negara atas pernikahan itu, maka harus mencatatkan pernikahannya di Kantor Urusan Agama (KUA).
Tugas penghulu di KUA bukan menikahkan, tapi mencatat pernikahan. Yang menikahkan adalah walinya. Namun ada pula di antara wali itu, yang menyerahkan perwaliannya kepada penghulu untuk menikahkan. Tapi tugas penghulu adalah mencatat pernikahan. Karena kelak bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di antara pasangan ini, sudah ada catatan mengenai pernikahan mereka. Sehingga mendapat hak untuk memperoleh perlindungan dari negara.
Karenanya doa kita selalu "Rabbana aatinaa fid dun-yaa hasanataw wafil aakhirati hasanataw waqinaa 'adzaaban naar." Artinya, ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah (hindarkanlah) kami dari azab neraka.
BAGAIMANA MEMBANGUN SALING-HORMAT?
Setelah menikah, sudah ada hak dan kewajiban suami maupun istri. Antara lain, seorang laki-laki setelah menikah wajib menafkahi istri dan anaknya. Sebaliknya, istri bekerja merupakan bonus, bukan kewajiban. Bonus pahala karena membantu meringankan ekonomi keluarga. Asalkan sebelum bekerja, sudah mendapat izin suami. Istri harus belajar berterima kasih kepada suami dan menghargai suami. Pendidikan, karir ataupun status sosial istri yang mungkin lebih tinggi dibandingkan suami, jangan menjadi alasan untuk tidak menghargai suami.
Jangan pula suami maupun istri hanya melihat keburukan/kekurangan pasangannya. Karena dua orang bersatu dalam perkawinaan, tentu banyak perbedaan. Sejak awal pernikahan, tidak ada kecocokan yang sempurna. Yang seharusnya dilakukan adalah kewajiban saling menghargai dan menghormati antara suami dan istri.
Allah Ta'ala berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menghalangi mereka kawin dan menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya." (QS. An Nisaa: 19).
Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Orang mu'min yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kamu ialah yang paling baik kepada istrinya." (HR. Tirmidzi)
Suami bertanggung jawab memimpin dan melindungi keluarga. Sebagaimana ditegaskan Allah Subhanahu wa Ta'ala, "Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalih, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz (menentang), hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar." (QS. An-Nisaa': 34)
Taat atau patuh yang dimaksud dilandasi ketaatan kepada Allah Ta'ala, bukan kepada hal-hal yang maksiat. Ada pula kewajiban bersama suami dan istri. Yaitu, saling menghargau dan bersikap jujur satu sama lain. Setia terhadap pasangan dan tidak cemburu yang berlebihan. Saling menutup aib masing-masing. Seperti firman Allah Ta'ala, "Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka." (QS. Al-Baqarah: 187). Serta membiasakan hidup sederhana alias tidak boros dan bersikap saling menyayangi dan sabar.
CARA MELINDUNGI PERNIKAHAN DARI PERCERAIAN?
Sebelum menikah, orangtua wajib memberi penjelasan kepada calon pengantin laki-laki maupun perempuan mengenai apa itu pernikahan, serta hak dan kewajiban suami dan istri. Agar mereka memiliki persiapan mental.
Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan empat wasiat. Pertama, kokohkan bahteramu karena lautan itu dalam. Artinnya, laut bisa tenang, bisa pula berombak besar. Tapi kalau perahunya kokoh, bisa selamat sampai tujuan. Maksudnya, pasangan harus kokoh berpegang/bergantung kepada pertolongan Allah Ta'ala untuk menghadapi segala badai rumah tangga.
Kedua, perbanyak bekal karena perjalanan itu jauh. Artinya, jangan merasa cukup dengan apa yang ada. Kehidupan pasangan harus selalu dalam keadaan belajar, terutama memperbanyak pengetahuan agama. Bukankah manusia diwajibkan menuntut ilmu dari buaian sampai ke liang lahat.
Ketiga, ringankan pundakmu karena tantangan itu berat. Maksudnya, mau tidak mau harus mandiri dan bekerja sama antara suami dan istri untuk menjalani kehidupan.
Keempat, berlaku ikhlaslah dalam beramal dan berkarya karena yang memata-matau sangat tajam penglihatannya, yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala. Setiap manusia mempunyai catatan di hadapan Allah Ta'ala.
BAGAIMANA SUPAYA RUMAH TANGGA MENDAPAT RIDHA ALLAH TA'ALA?
Wajib mempersiapkan diri. Orangtua sangat berperan memberikan bekal pendidikan agama kepada anak-anaknya, agar kelak mereka paham apa tujuan menikah dan bagaimana bersikap sebagai hamba Allah Ta'ala yang senantiasa mengharap ridha Allah. Nah, sebelum mendidik anak, berari Anda sebagai orangtua harus taat agama. Dengan bekal pemahaman agama inilah, Anda dapat memantapkan diri anak-anak Anda sejak mereka kecil hingga dewasa dan menikah.
Masalah utama yang mengganggu rumah tangga, antara lain adalah kurang menyadari tentang hak dan kewajiban antara suami dan istri. Misalnya, perempuan sering menuntut haknya, tapi lupa kewajiban. Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan, "Orang mu'min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya; dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya." (HR. Tirmidzi)
Istri merupakan amanah dari Allah Ta'ala. Berarti kewajiban pemeliharaan orangtua terhadap anak perempuannya pindah kepada suami. Mengenai hal dan kewajiban suami, hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan, "Takutlah kalian hai para laki-laki dalam urusan perempuan. Setelah kamu ambil dia sebagai amanah dari Allah, kamu halal menggauli dia sebagai istri." (HR. Muslim)
Seorang suami yang tidak mengingatkan istrinya untuk melakukan perbuatan yang baik, suami ikut bertanggungjawab bila istri tidak melakukan perbuatan yang baik. Sebaliknya, istri tidak ikut bertanggungjawab, istri hanya mengingatkan. Bukan kewajiban istri mengingatkan agar suami melakukan perbuatan yang baik. Contohnya, suami memberikan kesempatan kepada istri untuk belajar lebih banyak mengenai ilmu agama. Misalnya, dengan lebih sering mengajak istri mendatangi pengajian.
SEPERTI APA KELUARGA MUSLIM MASA KINI?
Tantangan keluarga Muslim masa kini sangat berat. Terutama akibat arus informasi yang sudah masuk ke dalam rumah lewat internet. Kalau dahulu hal-hal buruk baru diketahui ketika kita sudah berada di luar rumah. Sekarang masya Allah, segala hal yang buruk sudah masuk ke dalam rumah, bahkan ke dalam kamar Anda lewat dunia maya.
Celakanya, masih banyak Muslimah yang belum memiliki kesempatan untut menuntut ilmu baik ilmu dunia apalagi ilmu agama. Islam tidak pernah membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan, kecuali secara kodrati. Misalnya, perempuan diberi keberkahan oleh Allah Ta'ala untuk bisa hamil dan melahirkan. Sedangkan laki-laki tidak. Laki-laki diberi kewajiban menafkahi keluarga, sedangkan perempuan tidak memiliki kewajiban seperti itu. Namun dari segi keilmuan, kewajiban menuntut ilmu sama antara laki-laki dan perempuan. Sampai sekarang belum semua Muslimah bisa menuntut ilmu sekehendaknya. Padahal sejak ajaran Islam pada 15 abad lampau, laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama. Bahkan dalam beramal pun sama, yang membedakan adalah kodratnya.
Dikutip dari Majalah Aulia, oleh: Ratih Sayidun
Posting Komentar untuk "Bukan Sekedar Cinta-Cintaan"