Ingin Pernikahan Bermakna? Go Green!
Cerminan sebuah rumah tangga, satu di antaranya, dilihat dari bagaimana akad nikah dan walimah (pesta atau resepsi pernikahan) diselenggarakan. Ketika sepasang pengantin menghabiskan puluhan, bahkan ratusan juta rupiah untuk menggelar satu hari pernikahannya, kemudian menghasilkan gunungan sampah setelahnya, bagaimanakah sekiranya wujud rumah tangga mereka kelak?
![]() |
Gambar: http://www.pinterest.com |
Seorang kawan Anda mengadakan walimah dengan hanya menghidangkan jenis makanan kecil, tanpa nasi dan pelengkapnya. Tak lazimkah walimah tersebut dalam pandangan Anda dan masyarakat?
Walimah lain yang Anda hadiri memperlihatkan mempelai wanitanya mengenakan busana pengantin berbahan kain gorden. Tak pantaskah busana pengantin tersebut menurut 'aturan' Anda dan khalayak umum?
Bilamana dua pertanyaan di atas diganti dengan "Bersediakah Anda menyelenggarakan walimah sesederhana itu?" Mungkin Anda tak akan ragu menjawab, "Ya!" Jika Anda lebih peduli pada makna dari pernikahan Anda.
WALIMAH = KONSUMTIF?
Konon, kita hidup di zaman yang semakin menuntut kecanggihan dan kepraktisan. Faktanya, hingga hari ini, sebuah perhelatan pernikahan yang mendapat 'pengakuan' masyarakat mayoritas masih identik dengan sikap konsumtif dan berlebih-lebihan - dua hingga tiga busana pengantin untuk satu hari yang harganya bahkan lebih mahal dari harga makanan termahal; tata rias bagai 'dempul' dan sebagainya. Aturan tak tertulis lainnya yang diamini khalayak banyak adalah sebuah walimah mampu mencerminkan gengsi orangtua dan keluarga pengantin.
Bahayanya, dalam merayakan pernikahan, masyarakat kta cenderung menjadi sangat konsumtif atas nama dalih klise, "Menikah 'kan hanya sekali seumur hidup, jadi perayaannya harus seistimewanya mungkin." Tentu saja, tetapi istimewa jelas tidak sama dengan berlebih-lebihan, apalagi mubazir.
Ulama terkemuka, Syekh Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, dalam Mausuu'atul Aadaab al-Islaamiyyah (Ensiklopedi Adab Islami) menyampaikan kembali ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai adab atau tata cara walimah berdasarkan syariat Islam. Salah satunya adalah, walimah sebaiknya diselenggarakan sesuai kemampuan dan tidak berlebih-lebihan.
Menurut ulama ar-Raghib, "Sikap berlebih-lebihan itu adalah sikap melampaui batas dalam segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh seorang manusia..." Allah dalam firmannya, mengigatkan, "...janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (Al-Qur'an Surah al-A'raaf: 31)
Teladan kita, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pernah memberi contoh bagaimana mengadakan walimah yang disesuaikan dengan kemampuannya. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu, "Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengadakan walimah untuk Zainab, yang tidak pernah diadakan untuk istri-istri beliau lainnya, dan beliau menyembelih seekor kambing." (HR. Bukhari)
Namun saat menikahi Shaffiyyah binti Huyay, menurut Anas bin Malik, Rasul mengadakan walimah dengan hanya menghidangkan kurma kering, gandum dan minyak samin.
Di masa sekarang, bila kita cermati dan kaji ulang, tidak semua yang kita bayar untuk dan digunakan dalam walimah adalah hal yang terlalu signifikan, misalnya menu hidangan yang jumlahnya hingga lebih dari sepuluh jenis, atau pelaminan yang dihias dengan bunga segar yang harus sengaja didatangkan jauh-jauh dari luar kota, bahkan luar negeri. Saat itu terjadi, uang yang kita belanjakan sudah termasuk boros dan mubazir.
Para ulama mengatakan bahwa, "Sesungguhnya yang dikatakan tabdziir (berbuat mubazir) ialah membelanjakan harta tidak pada tempatnya..." Dan inilah peringatan Allah tentang sikap demikian: "Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya." (Al-Qur'an al-Israa': 27)
Bentuk walimah yang dicontohkan oleh Rasulullah di atas adalah untuk menghindarkan umat Islam terjerat dari sikap berlebih-lebihan dan mubazir, termasuk dari utang akibat memaksakan diri mengadakan walimah di luar batas kemampuan, seperti yang sudah cukup menjadi rahasia umum dalam masyarakat kita.
Ketika sikap berlebih-lebihan dan mubazir diikutsertakan, makna pernikahan bisa-bisa menjadi kabur, atau bahkan hilang di balik gemerlapnya sebuah walimah. Dan ketika kedua sikap tersebut ditahan atau dihindari, makana pernikahan akan terasa nyata dan mampu menjadi penyemangat awal dalam mengarungi bahtera rumah tangga yang juga bermakna.
PERNIKAHAN HIJAU = PERNIKAHAN ISLAMI
Konsumsi terbanyak yang dilakukan manusia seumur hidupnya, selain membeli rumah dan kendaraan, adalah merayakan pesta pernikahannya dan anak-anaknya. Tapi jangan hanya hitung uang yang dikeluarkan dan apa yang dibayarkan. Hitung juga buangan atau sampah yang dihasilkan - satu hal yang sering tak terpikirkan karena dianggap tak ada hubungannya dengan acara pernikahan itu sendiri.
Sebuah penelitian di Inggris menunjukkan rata-rata sebuah resepsi pernikahan menghasilkan jumlah sampah yang sama dengan yang dihasilkan satu orang manusia selama satu tahun hidupnya, dan tidak semuanya jenis sampah yang bisa didaur ulang. Sampah yang dimaksud bukan sekadar sampah padat (sisa makanan, sisa kemasan produk, dan sebagainya), melainkan juga sampah non-padat (polusi dari kendaraan, buangan dari energi listrik yang digunakan, air sisa mencuci, dan sebagainya). Bayangkan, sudah (dan masih akan) berapa banyak acara pernikahan yang meninggalkan sampah di bumi kita.
Bila pernikahan 'konvensional' cenderung menambah konsumsi, maka pernikahan hijau (green wedding atau earth-friendly wedding) berprinsip untuk mengurangi konsumsi, atau lebih dikenal dengan istilah mengurangi jejak karbon (dampak yang ditinggalkan terhadap lingkungan)
Sebelum menentukan konsumsi yang akan dilakukan, "pengantin hijau" (sebutan terhadap mereka yang menikah dengan konsep green wedding) menentukan dahulu visi terhadap pernikahan mereka. Apa yang mereka anggap paling-paling, itulah yang mereka hadirkan dalam pesta pernikahan mereka.
Dan tak melulu konsumsi yang mereka lakukan membutuhkan pengeluaran uang. Banyak pengantin hijau yang juga berusaha mengurangi pengeluaran dengan meminjam atau membuat sendiri apa yang mereka perlukan.
Dan tak melulu konsumsi yang mereka lakukan membutuhkan pengeluaran uang. Banyak pengantin hijau yang juga berusaha mengurangi pengeluaran dengan meminjam atau membuat sendiri apa yang mereka perlukan.
4 TIPS UTAMA UNTUK PERNIKAHAN HIJAU
- Prioritas utama: tentukan apa yang paling penting dalam sebuah penyelenggaraan walimah bagi Anda dan calon suami. Jangan mudah tergoda oleh industri pernikahan di luar sana, yang mengatakan bahwa Anda harus mengikuti tren dekorasi pelaminan bertabur bunga segar, misalnya. Bila pelaminan demikian tidak akan mempengaruhi kebahagiaan Anda dalam walimah maupun rumah tangga kelak, maka tak usah gunakan pelaminan tersebut.
- Jangan terjebak oleh istilah "hijau" atau "ramah lingkungan". Hanya karena selembar gaun pengantin dikatakan terbuat dari bahan yang ramah lingkungan, misalnya, tetapi jika gaun tersebut harus didatangkan dari tempat yang jauh, maka kata-kata "ramah lingkungan" tak berlaku lagi. Gaun yang selembar itu tak hanya akan menambah pengeluaran untuk ongkos kirim, tapi juga menambah buangan karbondioksida dari proses pengirimannya menggunakan kendaraan. Bila Anda mengenakan gaun yang disewa, atau dijahit oleh penjahit lokal, atau bahkan bila Anda mengenakan gaun yang berasal dari lemari Anda sendiri, maka itu pilihan yang lebih ramah lingkungan. Andreae, seorang warga Amerika Serikat, menikah dengan menjahit sendiri gaunnya dari bahan kain gorden.
- Bila Anda atau teman-teman dan keluarga Anda memiliki bakat kreatif, coba buat sendiri bebarapa elemen untuk walimah Anda. Thryn, yang juga seorang warga Amerika Serikat, membuat sendiri undangan pernikahannya menggunakan kertas bekas dan mencetaknya sendiri dengan printer di rumahnya. Ia bahkan menyelipkan beberapa butir biji bunga liar dalam proses pembuatan kertas, agar tamu yang diundang bisa secara harfiah menanam kertas undangannya dan hasilnya: tak ada sampah kertas sama sekali.
- Ingat selalu urutan kondisi yang disebut sebagai hijau atau ramah lingkungan: (a) mengurangi apa yang tak perlu, (b) menggunakan kembali apa yang sudah tersedia, (c) meminjam dari pihak lain, (d) menyewa, (e) membuat sendiri.
Saatnya kaum Muslim menikah dengan visi pernikahan bermakna, demi menjalankan syariat, dan demi kelestarian alam. Selamat mencoba.
Dikutip dari Majalah Alia, oleh: Diar Adhihafsari
Posting Komentar untuk "Ingin Pernikahan Bermakna? Go Green!"