Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Milikmu Milikku Juga, Milikku? Milikku Sendiri

Jika suami kaya, maka isteri harus ikut kaya. Tetapi jika isteri kaya, suami tidak harus ikut kaya. Semua harta, aset atau properti yang dimiliki seorang perempuan (isteri) adalah miliknya sendiri dan sangat dilindungi Al-Qur'an. Inilah salah satu kenikmatan menjadi seorang Muslimah....

Rumah tangga adalah satu kesatuan yang dibangun oleh suami dan isteri. Kerja sama toleransi, kepercayaan dan komunikasi yang baik menjadi salah satu pondasi untuk membangun rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah.

Dalam rumah tangga, sejumlah persoalan kerap muncul. Masalah ekonomi adalah salah satu yang sering menjadi pemicu pertengkaran suami-isteri. Uang atau harta menjadi hal yang sangat sensitif. Suami merasa bahwa ia sudah berusaha untuk mencukupi semua kebutuhan keluarga, sementara isteri berdasarkan keseharian pengelolaan mendapati bahwa hasil yang diberikan suami masih sangat minim, sehingga kurang mencukupinya. Tak jarang persoalan seperti ini berujung pada perceraian ketika tidak ada pengertian dari kedua belah pihak.

Gambar: http://www.seputarforex.com

Baik suami maupun isteri sudah mempunyai tugas dan kewajiban masing-masing dalam urusan rumah tangga. Mengatur rumah tangga merupakan tanggung jawab seorang isteri. Seorang penyair berkata, ketika di dalam rumah tidak terdapat seorang isteri yang bebas mengatur rumah tangganya, niscaya kemaslahatan rumah tangganya akan tersia-siakan. Isteri adalah sosok yang dapat membangun dan menghancurkan rumah tangga. Sebab dia sumber kemajuan dan kebahagiaan rumah tangga.

Sedangkan hal di luar rumah tangga merupakan kewajiban suami. Terutama kewajiban memberikan nafkah untuk memenui semua kebutuhan keluarganya. Tidak ada sedikit pun kewajiban bagi perempuan atau isteri untuk mencari dan memenuhi nafkah keluarga. Seorang isteri hanya diminta untuk pandai-pandai mengatur laju ekonomi keluarga agar stabil. Ia harus cerdas mengelola kebutuhan rumah tangga dan berusaha seefisien mungkin agar tidak defisit. Isteri juga harus pandai berterima kasih dan bersyukur atas pendapatan suaminya.

Sedangkan suami adalah seorang imam, figur dalam sebuah keluarga. Sebagai kepala rumah tangga, sosoknya menjadi tumpuan, harapan, tempat berlindung dan tulang punggung bagi kelangsungan kehidupan keluarganya. Sebagai imam, ia bertanggung jawab penuh atas segala hal dalam keluarganya, baik kecil maupun besarr. Ia juga bertanggung jawab atas keluarganya dunia dan akhirat.

"Karena itu Allah menjelaskan kenapa lelaki lebih kuat dari perempuan, itu lebih karena tanggung jawab lelaki yang lebih besar daripada perempuan," kata Ustadzah Munifah Syanwani, pimpinan sebuah ikatan perempuan yang bergerak di dunia ekonomi syariah, Perempuan Ekonomi Syariah atau PES.

Salah satu kewajiban suami adalah mencari nafkah untuk memenuhi segala kebutuhan keluarganya. Mulai sandang, pangan, papan, dan pendidikan. Tentu saja wajib baginya mencari dan memberikan nafkah yang baik dan halal untuk keluarganya. Dalam surat An-Nisaa' ayat 34 Allah berfirman: "Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya".

Karena itulah suami menjadi pemimpin bagi isteri dan keluarganya. Kepemimpinan suami salah satunya untuk mencukupi biaya hidup isteri dan anak-anaknya, sesuai dengan kemampuan yang Allah berikan padanya. Memenuhi kebutuhan keluarga menjadi keutamaan apalagi jika dilakukan dengan hati yang ikhlas, akan berbuah pahala yang sangat besar bagi suami. "Perempuan (isteri) lebih pada urusan domestik, tetapi suami lebih pada keutamaan mencari rizqi," jelas Ketua Umum PES itu.

Dalam sebuah hadits shahih Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Tsauban berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda: "Dinar yang paling utama adalah dinar yang diinfaqkan seorang untuk keluarganya."

Cara memperoleh rizki di antaranya melalui bekerja, berusaha dan bertawakkal kepada Allah serta banyak memohon ampunan. Suami yang baik harus mempunyai keyakinan bahwa segala pekerjaan dan usaha yang dilakukannya itu adalah ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bukan hanya sebagai kreativitas. Karena apabila manusia bekerja dengan ikhlas dan mengharap ridha Allah, pekerjaannya akan bernilai ibadah.

Tugas dan kewajiban suami isterilah yang membedakan tanggung jawab atau beban keuangan perekonomian rumah tangga Muslim. Meski seorang isteri berada dalam tanggungan suami, bukan berarti isteri tidak boleh memiliki harta sendiri. Justru ia mempunyai hak untuk menjadi kaya raya!

Mengapa? Sebab perempuan mempunyai hak kepemilikan atas hartanya sendiri, seperti berhak sepenuhnya atas maskawin yang diberikan suami, berhak mencari nafkah, menerima harta warisan dan bertanggung jawab penuh atasnya.

Dalam surat An Nisaa' ayat 32 disebutkan, "(Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan."

HARTA (MILIK) PEREMPUAN

Kepemilikan harta dalam Islam bukanlah monopoli suami atau kaum pria saja. Sebagai makhluk yang diciptakan Allah, semuanya mempunyai hak untuk mencari rizqi dan memiliki apa yang sudah diusahakan dan didapatnya. Islam memberikan hak kepada perempuan, seperti hak kepemilikan dan hak untuk usaha dan hak waris. Isteri memiliki tanggung jawab keuangan sendiri dan berhak untuk mengatur hartanya tersebut. Sehingga seorang suami tidak boleh mengambil harta isterinya, kecuali dengan jalan yang baik.

Mahar adalah salah satu harta isteri yang didapat dari suami. Pada masa jahiliyyah, yang menentukan mahar adalah penguasa negeri. Tetapi ketika Islam datang, isteri mempunyai hak atas maskawinnya.

Menurut Munifah Syanwani, kepemilikan mahar adalah mutlak perempuan, meski itu adalah pemberian suami. Seorang perempuan berhak menggunakan mahar tersebut sekalipun tanpa izin suaminya.

Dalam Al-Qur'an surat An-Nisaa' ayat 4 disebutkan, suami harus meminta izin atau kerelaan kepada isterinya jika ia hendak memakai maskawin sang isteri. "Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh dengan kerelaan. Kemudian jika merekaa menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka nikmatilah pemberian itu dengan senang hati."

"Bukan hal yang tabu memberikan mahar kepada suami. Isteri menyerahkan maharnya kepada suami, itu atas kerelaannya. Sebagai Muslimah yang baik ketika suami atau keluarga kesulitan, dia tidak akan berdiam diri apalagi digunakan demi kepentingan keluarga," tutur Munifah.

Selain mahar, Islam juga mencamtumkan perempuan dalam faraidh (hukum waris). Bagi para perempuan diberikan ketentuan untuk menerima setengah dari pembagian harta. Sedangkan laki-laki adalah satu. Ini adalah salah satu keadilan karena ada tanggung jawab yang harus dipikul laki-laki/suami.

"Laki-laki mendapatkan bagian lebih besar karena dia mempunyai tanggungan dan kewajiban untuk memenuhi keluarganya. Sedangkan perempuan yang menerima warisan, itu hanya untuk dia dan tidak ada kewajiban untuk mencukupi keluarganya, "papar dosen pasca sarjana Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam (PSTTI) UI Depok ini.

Para suami, lanjut Munifah, tidak mempunyai kewenangan terhadap harta yang dimiliko isteri. Mereka tidak boleh meminta ataupun mengganggu bahkan memaksa isteri untuk memberikan mahar, warisan, hadiah, atau harta apapun yang mutlak milik isteri. Namun, isteri dengan kerelaan dan dan keridhaan hatinya, boleh memberikan hartanya pada suami. Kerelaan isteri memberi harta pada suami menjadi shadaqah, sedangkan suami memberi nafkah pada isteri adalah kewajiban dan tidak dihukumi shadaqah.

"Seorang isteri pasti mempunyai nurani untuk mengeluarkan hartanya ketika suami sedang dalam keadaan sulit. Justru memberikan dengan kerelaan dan ridha, isteri akan mendapatkan pahala karena menjadi shadaqah," terang perempuan kelahiran Bogor ini.

GAJI PEREMPUAN

Lalu bagaimanakah dengan harta yang diperoleh perempuan karena bekerja? Munifah menegaskan, tidak ada kewajiban seorang isteri untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Kalaupun isteri punya penghasilan, itu adalah milik isteri dan dia berhak untuk mengaturnya sendiri dan dipergunakan untuk kepentingannya.

"Dari penghasilannya, ia boleh membeli apa pun, memberi untuk orangtua, adik atau keluarga tanpa izin suami, juga berinvestasi dalam berbagai bentuk," katanya.

Hanya saja, untuk urusan investasi Munifah menyarankan, agar isteri terbuka kepada suami jika ia memiliki aset yang sangat besar, atau ketika akan menggunakan hartanya untuk kepentingan yang bersinggungan dengan orang lain, misalnya membuka usaha.

"Daripada nanti suami tahu belakangan merasa dibohongi, lebih baik bicara di awal. Kalau tidak komunikasi terlebih dahulu tiba-tiba usaha yang kita bangun gagal atau rugi, tentu suami juga akan menyalahkan isteri karena tidak bicara terus terang," katanya.
Sementara itu, yang termasuk hak perempuan adalah bagian untuk keluarga yang diberikan suami setiap bulannya. Itu menjadi hak dan kewajiban isteri untuk mengelola dan mengalokasikannya. Tugas seorang isteri dalam rumah tangga tak ubahnya seperti seorang manajer keuangan di sebuah perusahaan, menteri keuangan di suatu negara. Ia harus pintar mengatur keuangan yang diterimanya dengan seleksi kebutuhan yang ketat. Tak heran jika ada julukan bahwa perempuan itu makhluk yang pelit.

"Pelit di sini biasanya mereka pintar menyimpan hartanya. Perempuan pasti selalu bisa 'menyembunyikan' dari suaminya. Itu tidak menjadi dosa bagi isteri, akan lebih bagus. Soalnya kalau perempuan menyimpan harta, itu kembalinya untuk keluarga. Ketika ada kesusahan, anak mau sekolah misalnya, harta yang disimpannya itu pasti keluar," tutur Munifah.

Karena sudah menjadi hak, isteri pun boleh menggunakan uang tersebut untuk menabung atau kebutuhannya. Namun, lanjut Munifah, hal itu tidak memengaruhi atau tidak mengurangi bagian dan kebutuhan keluarga yang sudah diberikan suami. Tetapi jika sampai memengaruhi kondisi stabilitas keuangan bulanan, suami berhak untuk menegur dan bertanya dana yang telah diberikan.

"Misalnya, suami memberikan bulanan cukup untuk semua. Belakangan kok tidak cukup, malah terus berkurang. Nah, berdiskusilah dengan suami, mungkin karena harga semua naik, dibicarakan semuanya. Suami juga boleh menegur jika dirasakan di luar batas," tutur Munifah.

BERKOMPROMILAH

Ungkapan "uangmu adalah uangku dan uangku adalah uangmu" memang kerap terdengar. Ungkapan tersebut sebetulnya untuk menggambarkan bagaimana seorang suami memenuhi kewajiban.

Tapi tidak demikian dengan isteri, ia boleh meminta hak dan menggunakan harta suami dan memiliki harta sendiri tanpa berbagi dengan suami.

Menurut Munifah, seorang Muslimah yang baik tentu tidak akan memperkaya dirinya sendiri dan menelantarkan keluarga. Justru hal itu akan menimbulkan dosa. Menurut dia, rumah tangga merupakan satu kesatuan. Meski banyak perbedaan dan masalah, namun ada seribu jalan penyelesaian, termasuk dalam ekonomi keluarga.

Bagi Muslimah bekerja, ia bisa membantu suaminya memenuhi kebutuhan. Karena itu lanjut Munifah, sebaiknya antara suami isteri saling mengetahui pendapatan masing-masing per bulannya. Soal siapa yang lebih besar mengeluarkan atau lebih kecil semua tergantung kesepakatan.

JANGAN KASAK-KUSUK

Aisyah radhiyallahu'anha mengisahkan bahwa Hindun binti Utbah isteri Abu Sufyan, datang ke Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa sallam dan mengatakan, "Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan orang yang pelit, tidak memberikan nafkah yang cukup untukku dan anak-anakku, sehingga aku harus mengambil sendiri tanpa sepengetahuannya, berdosakah aku ya Rasulullah?"

Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda, "Ambillah secukupnya untukmu dan anak-anakmu."

Hadits tersebut menyatakan, ada batasan ketika seorang isteri mengambil uang atau harta milik suami yang tidak terlalu memerhatikan kewajibannya dengan baik. Namun, harus ditegaskan, isteri hanya boleh mengambil yang memang dibutuhkan untuknya dan anak-anak, bukan untuk bersenang-senang atau untuk membeli sesuatu yang tidak penting. "Dengan catatan bahwa suaminya itu pelit banget," tandas Munifah.

Munifah mengatakan, dalam memberikan nafkah untuk keluarga, ada tiga tipe suami. Pertama, suami yang memberikan nafkah untuk keluarganya sebulan penuh dengan konsisten. Kedua, suami yang memberikan nafkah kadangkala saja ketika ada rizqi dan ketiga, suami yang harus selalu diminta. Dengan kata lain, pelit.

Jika suami memberikan kebebasan kepada isteri dalam segala hal, maka isteri juga sebaliknya tidak menggunakan peluang tersebut dengan hal-hal yang sifatnya kurang bermanfaat. "Mentang-mentang suaminya bilang terserah, isteri semaunya. Itu tidak boleh."

Tentu bagi isteri yang mempunyai suami tipe dua dan tiga harus berpikir bagaimana kebutuhan keluarga tercukupi dengan baik. Terkadang, lanjut Munifah ada isteri yang mencari-cari harta suami, di kantong celana, di dompet atau di mana saja yang sekiranya ada uang. Dengan dalih uang suami adalah uang isteri juga, sehingga sah saja jika diambil tanpa izin.

Hal tersebut tentu saja tidak dibenarkan. Karena efek dari perbuatan tersebut dikhawatirkan akan menjadi kebiasaan (habit). "Kalau seperti itu namanya pencuri, apalagi kalau tidak bilang ke suami setelah mengambil," kata Munifah

Berbeda jika halnya suami tahu, atau kalaupun tidak tahu tetapi isteri kemudian mengatakan telah mengambil uang untuk keperluan keluarga. "Asalkan suami ridha, itu saja. Tapi tidak boleh berlebihan mengambil, harus secukupnya untuk keperluan keluarga atau anak, tidak boleh lebih," tandas Munifah.

Kendati demikian, suami boleh menegur perbuatan isteri seperti itu jika dirasa sudah mengganggu. "Teguran agar isteri tidak melakukannya lagi. Sebaiknya memang harus bilang ke suami kita. Kita 'kan membentuk keluarga Muslim yang baik. Insya 'Allah tidak ada suami yang tidak ridha," kata Munifah.

Nah, jika ternyata suami telah mencukupi kebutuhan isteri, anak dan semua merasa tercukupi, isteri hendaknya tidak mencari-cari harta suami sampai ke kantong celana atau ke mana pun. Perbuatan tersebut sangat salah karena merasa tidak pernah bersyukur dengan apa yang sudah diberikan Allah melalui suaminya.

TIDAK MEREPOTKAN, ITU LEBIH BAIK

Perempuan bekerja bukan hal yang tabu dalam Islam. Sejak zaman Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa sallam, kiprah perempuan sudah diperhitungkan, bahkan dalam perang. Tidak sedikit para mujahidah yang ikut dalam barisan terdepan melawan musuh.

Memang perempuan tidak mempunyai kewajiban mencari nafkah, namun menurut Munifah, tidak ada salahnya jika isteri membantu suami dalam perekonomian keluarga. Sebab tak jarang konflik disebabkan ekonomi. "Alangkah baiknya jika mau membantu suami, karena semakin ke depan kebutuhan semakin meningkat," ujarnya.

Bisa menabung dan menggunakan harta suami sebijak mungkin untuk urusan keluarga, itu sangat dibolehkan. Bisa mempercantik diri untuk suami atau membantu memenuhi isi rumah dengan bekerja, itu sah saja. Sebab menurut Munifah, perempuan yang kuat adalah yang paling tidak merepotkan suammi. "Artinya dia menanamkan kepercayaan pada suami, tidak ribetlah dalam segala urusan termasuk ekonomi. Jadi tidak merepotkan suami itu lebih bagus, "tandas Munifah.

Hanya saja ada satu catatan bagi para Muslimah yang bekerja. Munifah mengingatkan, jangan sampai bertepuk dada karena bisa bekerja dan menghasilkan rizqi di hadapan suami. "Apalagi kalau salary-nya lebih besar dari suami, jangan sampai arogan," tandasnya.

Sebab, boleh tidaknya perempuan keluar rumah atau berkarier tergantung dari izin suaminya. Meski isteri mempunyai penghasilan berpuluh-puluh kali lipat dari suami, tetapi ketika berada di rumah, isteri adalah ma'mum dan suami adalah imam yang mengayomi dengan penuh kasih sayang. Hak memberi izin tetap milik suami, ketika suami tidak ridha isteri keluar rumah atau bekerja, maka haram baginya untuk melangkahkan kaki keluar dari pintu rumahya untuk bekerja.

Perempuan yang memutuskan untuk bekerja menurut Munifah diperbolehkan selama dia tidak melanggar aturan syar'i dan aturan Allah Subhanahu wa Ta'ala, seperti berhijab, tidak melakukan maksiat, dan harus menjaga kehormatan dirinya dan suami. Karena itu, seorang Muslimah harus menutup hati dan dirinya dengan selimut keimanan yang kuat. Wallahu a'lam bish shawab.



Dikutip dari Majalah Aulia, oleh: Wina Tresna Rahayu

Posting Komentar untuk "Milikmu Milikku Juga, Milikku? Milikku Sendiri"